Rabu, 28 September 2011

Bolehkah Makmum Baca Salawat saat Khotbah Jumat?

menggabungkan-puasa
Pertanyaan:
Bolehkah jemaah bersalawat kepada Nabi ketika khatib menyebutkan nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat khotbahnya?

Zakkiy (**zakkiy@***.com)

Penjelasan singkat seputar salawat di antara dua khotbah:

Bismillah ….
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum membaca salawat bagi makmum ketika mendengarkan khotbah, pada saat khatib menyebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat pertama, diperbolehkan membaca salawat dengan pelan. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Abu Yusuf, murid senior Abu hanifah. Pendapat ini juga merupakan Mazhab Hanbali, dan yang dikuatkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Dalil pendapat pertama adalah:
  1. Bahwa bersalawat ketika khatib berkhotbah, tidaklah mengganggu konsentrasi mendengarkan khotbah. Dengan demikian, ketika membaca salawat, seseorang mendapatkan dua keutamaan: pahala mendengarkan khotbah dan pahala membaca salawat.
  2. Kita disyariatkan untuk memperbanyak salawat di hari Jumat, lebih-lebih ketika disebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat kedua, makmum tidak boleh membaca salawat, dan wajib diam mendengarkan khotbah. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafiyah.
Dalil pendapat ini adalah:
  1. Makmum dilarang berbicara ketika mendengarkan khotbah, sebagaimana mereka dilarang berbicara ketika shalat.
  2. Membaca salawat bisa dilakukan di berbagai kesempatan lainnya. Karena itu, tidak perlu mengganggu waktu mendengarkan khotbah.

Tarjih (pemilihan pendapat yang lebih kuat masalah salawat di antara 2 khotbah):

Pendapat yang tampak lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat pertama, yang memperbolehkan membaca salawat dengan pelan dan tanpa dikeraskan, di tengah mendengarkan khotbah. Dengan melakukan ini, orang melaksanakan dua perintah sekaligus: perintah membaca salawat ketika nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut, dan perintah agar berkonsentrasi dalam mendengarkan khotbah. (Disarikan dari Khutbatul Jumu’ah wa Ahkamuha Fiqhiyah, hlm. 228–229)
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Tata Cara Puasa Syawal

Tata Cara Puasa Syawal
Pertanyaan:
Ustadz, apakah puasa Syawal harus dilakukan berturut-turut enam hari atau boleh terputus-putus asalkan masih tetap di bulan Syawal? Jazakallahu khairan.

Jawaban:
Ulama berselisih pendapat tentang tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.
Pendapat pertama, dianjurkan untuk menjalankan puasa Syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarak. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya lemah.
Pendapat kedua, tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
Pendapat ketiga, tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah Idul Fitri karena itu adalah hari makan dan minum. Namun, sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar, Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. Kata Ibnu Rajab, “Ini adalah pendapat yang aneh.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 384–385)
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bolehnya puasa Syawal tanpa berurutan. Keutamaannya sama dengan puasa Syawal secara terpisah. Syekh Abdul Aziz bin Baz ditanya tentang puasa Syawal, apakah harus berurutan?
Beliau menjelaskan, “Puasa 6 hari di bulan Syawal adalah sunah yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh dikerjakan secara berurutan atau terpisah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keterangan secara umum terkait pelaksanaan puasa Syawal, dan beliau tidak menjelaskan apakah berurutan ataukah terpisah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal ….‘ (Hadis riwayat Muslim, dalam Shahih-nya)
Wa billahit taufiiq ….” (Majmu’ Fatwa wa Maqalat Ibni Baz, jilid 15, hlm. 391)
Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Shalat Jemaah dalam Keadaan Tidak Berwudhu

shalat-jemaah-dalam-keadaan-tidak-berwudhu
Ada seseorang yang mendapat shalat berjemaah namun dia dalam kondisi tidak berwudhu. Ia khawatir jika ia berwudhu, ia akan luput dari shalat jemaah. Bagaimana yang semestinya ia lakukan?

Jawaban singkat perihal shalat tanpa berwudhu:

Perlu diketahui bahwa wudhu adalah syarat sah shalat, karena Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, juga sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Q.S. Al-Maidah:6)
Juga terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأُ
Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats, sampai ia berwudhu.” (H.R. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Oleh karena itu, wajib bagi setiap orang untuk berada dalam keadaan berwudhu setiap kali hendak shalat, walaupun akhirnya ia tidak mendapati shalat jemaah saat itu. Lain waktu, semoga ia bisa menunaikan shalat berjemaah lagi. Jika itu mudah baginya, alhamdulillah. Jika tidak, maka hendaklah ia shalat sendirian, karena Allah ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Bertakwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian.” (Q.S. At-Taghabun:16)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Jika kalian diperintah untuk melakukan sesuatu maka lakukanlah semampu kalian.” (H.R. Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Sebagai catatan pula, seseorang yang berada dalam kondisi semacam itu tidak boleh–dengan beralasan untuk mendapatkan shalat berjemaah–mengganti wudhunya dengan . Sekadar ingin mendapatkan shalat jemaah bukanlah alasan untuk berpindah dari dengan menjadi bertayamum dengan debu.
Wa billahit taufiq. Salawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Yang menandatangani fatwa ini: Syekh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz selaku Ketua, Syekh Abdurrazaq Afifi selaku Wakil Ketua, Syekh Abdullah bin Qu’ud selaku Anggota. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ke-4, no. 1752, 6:188–189.
Panggang, Gunung Kidul, 2 Rabi’ul Awwal 1432 H (03/02/2011 M)
Dipublikasikan ulang oleh www.KonsultasiSyariah.com, disertai penyuntingan bahasa.
Artikel www.KonsultasiSyariah.com


About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Al-Muhalil

almuhallil
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukum tentang seorang muhallil?

Jawaban:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang muhallil.
قَالَ: لَعَنَ اللهُ اَلْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلِّلَ لَهُ
Beliau menjawab, “Allah Ta’ala melaknat orang yang menghalalkan dan orang yang minta dihalalkan.” (HR. Ibnu Majah)
*)Catatan: Muhallil adalah orang yang menikah untuk sementara, kemudian bercerai. Dengan tujuan agar perempuan yang dia nikahi setelah ditalak tiga oleh suami yang pertama bisa kembali kepada suami pertamanya tersebut.
Sumber: Fatawa Rasulullah: Anda Bertanya Rasulullah Menjawab, Tahqiq dan Ta’liq oleh Syekh Qasim Ar-Rifa’i, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Pustaka As-Sunnah, Cetakan Ke-1, 2008.
(Dengan penataan bahasa oleh www.konsultasisyariah.com)

About the author

KonsultasiSyariah.com adalah situs rujukan untuk Fatwa dan Tanya Jawab seputar Pendidikan Islam dan Keluarga berbahasa Indonesia. KonsultasiSyariah.com diasuh oleh tim ahli syariah. Silakan lihat halaman "Tentang Kami" untuk info selengkapnya.

Istri Menggambil Harta Suami

mengambil harta suami
Pertanyaan:
Suami saya tidak pernah memberi nafkah kepada anak-anak saya. Oleh karena itu, kadang-kadang kami mengambil uangnya tanpa sepengetahuan dia. Apakah dalam hal ini kami berdosa?

Jawaban:
Seorang istri boleh mengambil harta suaminya tanpa sepengetahuan suaminya, sebanyak yang ia butuhkan bersama anak-anaknya yang masih kecil, dengan cara yang baik dan tidak berlebih-lebihan. Dengan syarat suami tersebut tidak memberikan nafkah yang cukup kepadanya. Hal ini berdasarkan sebuah hadits shahih riwayat Aisyah yang menyatakan bahwa Hindun binti ‘Utbah mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
يَا رَسُوْلَ اللهِ إِن أَبَا سُفْيَانَ لاَ يُعْطِيْنِي مَا يُكْفِنِي وَيَكْفِيْ بَنِيَّى … فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالمَعْرُوْفِ مَايَكْفِيْكِ وَيَكْفِي لَنِيْكَ
Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku) tidak memberikan nafkah yang cukup kepadaku dan kepada anak-anakku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Ambillah hartanya dengan cara yang ma’ruf sebanyak yang dibutuhkan olehmu dan anak-anakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala maha penolong menuju kebenaran.
Sumber: Fatawa Syaikh Bin Baaz Jilid 2, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Pustaka at-Tibyan
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

KonsultasiSyariah.com adalah situs rujukan untuk Fatwa dan Tanya Jawab seputar Pendidikan Islam dan Keluarga berbahasa Indonesia. KonsultasiSyariah.com diasuh oleh tim ahli syariah. Silakan lihat halaman "Tentang Kami" untuk info selengkapnya.

Memperbesar Alat Vital

hukum memperbesar alat vital
Assalamu’alaikum….
Ustad, bagaimanakah hukum memperbesar alat vital dalam pandangan islam yang sesungguhnya? Karena kita lihat banyak praktek-praktek tersebut bahkan kebanyakan mengatasnamakan agama yang disebut ilmu hikmah. Selain itu dulu terkenal juga Almarhumah Mak Erot yang berhasil membuat banyak lelaki perkasa dengan alat vital yang besar. Maaf, sebelumnya ustad, pertanyaan saya agak kolot dan agak porno. Ketika ditanya orang saya bingung jawabnya. Setahu saya merubah bentuk yang sudah diciptakan Allah hukumnya haram. Lantas mereka mengatakan hal itu malah berpahala untuk memuaskan si Istri. Bagaimana pandangan ustad? Syukron.
Wa alaikumus salam wa rahmatullah
Deni Harianto (denihariXXXXXX@yahoo.com)

Jawaban:
Dalam Fatawa Islam (islamqa.com), pernah diajukan pertanyaan yang sama. Pembina situs tersebut, Syekh Muhammad bin Shaleh Munajid memberikan jawaban:
Bagi orang yang mengeluhkan alat vitalnya yang kecil, lebih kecil dari ukuran normal umumnya, sehingga mempengaruhi keharmonisan keluarga, dibolehkan untuk menggunakan obat yang bisa membantu memperbesar organ vitalnya. Ini jika mendapat rekomendasi dari dokter ahli terkait dan tidak membahayakan dirinya. Bahkan dibolehkan menggunakan bahan tertentu yang membungkus organ vital, seperti kondom atau semacamnya. Apabila hal ini bisa meningkatkan kepuasan bagi istrinya. Karena setiap suami dituntut untuk memberikan pergaulan terbaik bagi istrinya dan memenuhi kebutuhan istri dalam berhubungan.
Akan tetapi, jika tujuan memperbesar alat tersebut hanya sebatas untuk lebih bisa menikmati organ vital ini, kami ingatkan agar penanya tidak melakukannya. Karena bisa jadi ini menjadi salah satu celah setan untuk menjerumuskan manusia kepada perbuatan yang haram.
Disadur dari dua fatwa, dengan alamat link satu dan dua
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

KonsultasiSyariah.com adalah situs rujukan untuk Fatwa dan Tanya Jawab seputar Pendidikan Islam dan Keluarga berbahasa Indonesia. KonsultasiSyariah.com diasuh oleh tim ahli syariah. Silakan lihat halaman "Tentang Kami" untuk info selengkapnya.

Hukum menggabung niat puasa syawal dengan qadha puasa

Menggabung Niat Puasa Syawal dengan Puasa Qadha


Assalamu ‘alaikum. Ustadz, apakah boleh puasa dalam sehari, niatnya untuk puasa Syawal dan qadha puasa? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum.
Umie (umie**@yahoo.***)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam.
*

Menggabung niat qadha puasa dengan puasa syawal (Disadur dari Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih. No. fatwa: 12728)

Pertanyaan:
Bolehkah melakukan puasa Syawal, sekaligus dengan niat meng-qadha puasa yang pernah ditinggalkan di bulan Ramadan? Bagaimana cara yang tepat?
Jawaban:
Alhamdulillah, washshalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du …
Tidak boleh melakukan puasa 6 hari di bulan Syawal dengan niat ganda, untuk puasa sunah dan meng-qadha puasa Ramadan yang pernah ditinggalkan, karena meninggalkan puasa ketika Ramadan, baik karena alasan yang dibenarkan maupun tanpa alasan, itu wajib untuk di-qadha’, berdasarkan firman Allah,
فمن كان منكم مريضاً أو على سفر فعدة من أيام أخر
Siapa saja di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (kemudian dia berbuka) maka dia (mengganti) sebanyak hari puasa yang ditinggalkan di hari yang lain.” (Qs. Al-Baqarah:184)
Sementara, puasa 6 hari Syawal itu hukumnya sunah, berdasarkan hadis dari Abu Ayyub Al-Anshari; beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال فذلك كصيام الدهر
Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti (puasa) enam hari bulan Syawal, maka itu seperti puasa setahun.” (Hr. Muslim)
Oleh karena itu, hendaknya orang yang memiliki utang puasa tersebut meng-qadha utang puasa Ramadan kemudian melaksanakan puasa sunah 6 hari bulan Syawal.
Puasa Syawal harus dilakukan secara khusus, demikian pula qadha puasa juga harus dilakukan secara khusus. Dalam keadaan semacam ini, tidak memungkinkan untuk digabungkan niatnya, tidak sebagaimana ibadah yang lain, seperti mandi junub dan mandi Jumat.
Allahu a’lam.
*
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.