Selasa, 25 Januari 2011

sumber-sumber hukum islam

hukum

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam penetapan hukum dalam agama Islam harus dilandasi dengan pijakan atau

alasan yang disebut dengan sumber hukum, sumber hukum yang dimaksud yaitu Al Quran

dan as sunnah. Namun adakalanya timbul permasalahan-permasalahan baru yang timbul

akibat berkembangnya jaman, oleh karena itu dibutuhkan sesuatu yang dapat dijadikan pijakan untuk menetapkan hukum perkara tersebut.

Dengan didasari oleh hadits Nabi, para ulama berijtihad dan menyusun sistematika

istinbat hukum. Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang

terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum

tidak dibedakan. Maka dalam makalah ini kami akan berusaha membahasnya dan akan kami

sertakan sumber hukum utama yaitu Al Quran.
BAB II

PEMBAHASAN

Sumber-Sumber Hukum Islam

A. Al-Quran

1. Pengertian Al-Quran

Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang

berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk

kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini

dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah

Al-Qiyamah yang artinya:

“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya

(pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya,

hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.

Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang

digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut :

Al-Kitab (buku) Al-Qaul (perkataan/ucapan)

Al-Furqan (pembeda benar salah) Ar-Rahmat (karunia)

Adz-Dzikr (pemberi peringatan) Ar-Ruh (ruh)

Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat) Kalam (ucapan/firman)

Al-Hukm (peraturan/hukum) Al-Bayan (penerang)

Al-Hikmah (kebijaksanaan) Al-Busyra (kabar gembira)

Asy-Syifa' (obat/penyembuh) An-Nur (cahaya)

Al-Huda (petunjuk) Al-Basha'ir (pedoman)

At-Tanzil (yang diturunkan) Al-Balagh (penyampaian/kabar)

edangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah. Pembagian berdasar fase sebelum

dan sesudah hijrah ini lebih tepat,sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah

• Juz dan manzil

Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian

dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk

memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu

bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan

tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini

tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.

• Menurut ukuran surat

Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-

Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran,

An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus

Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya

Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan

sebagainya

Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Al-Ikhlas, An-Nas dan sebagainya

1Sebagian besar membulatkan jumlahnya menjadi 6666 ayat

3. Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf

• Penurunan Al-Qur'an

Dipercayai oleh umat Islam bahwa penurunan Al-Qur'an terjadi secara
berangsur-angsur selama 23 tahun.(2) Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi

menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah

berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang

turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang

dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada

kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.

• Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya

Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak

zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang

dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.

• Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW

Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa

orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi

Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap

menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang

digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau

daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga

sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu

diturunkan.

• Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin

1. Pada masa pemerintahan Abu Bakar

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam

perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya

beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab

yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta

kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu

tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit

sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai

dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada

Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian

222 tahun 2 bulan 22 hari


mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya

mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad

SAW.

2. Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan

Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat

keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh

adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-

beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil
kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar(3) yang ditulis dengan sebuah

jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah

cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan

dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang

dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman

berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di

masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.

• Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an

Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan

proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam

berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha

manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli

dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama

dengan Al-Qur'an itu sendiri.

Terjemahan

Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-

Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara

literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-

Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud
yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi(4) atau

arti dan maksud lainnya.

3Menyalin Mushaf yang dipegang Hasfah

4Kiasan


Tafsir

Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi

Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika

memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi

Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus

berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode

analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga

beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan

teologis bahkan corak ilmiah.

4. Adab Terhadap Al-Qur'an

Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk

menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan

interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 - 79:

”Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara

(Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”

Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan

bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap

Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan

hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat

berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman

mati.

5. Hubungan dengan kitab-kitab lain

Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi

sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim), Al-

Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut

adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai

hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:

Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab

tersebut. QS(2:4)

Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi

kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)


Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat

antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)

Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita

mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai

kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda

dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan

Kristen.

6. Fungsi dan Peranan al-Qur'an

Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang berfungsi sebagai mu'jizat bagi Rasulullah

Muhammad saw sebagai pedoman hidup bagi setiap Muslim dan sebagai korektor dan

penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya, dan bernilai abadi. Sebagai

mu'jizat, Al-Qur'an telah menjadi salah satu sebab penting bagi masuknya orang-orang Arab

di zaman Rasulullah ke dalam agama Islam, dan menjadi sebab penting pula bagi masuknya

orang-orang sekarang, dan ( insya Allah) pada masa-masa yang akan datang. Ayat-ayat yang

berhubungan dengan ilmu pengetahuan dapat meyakinkan kita bahwa Al-Qur'an adalah

firman-firman Allah, tidak mungkin ciptaan manusia apalagi ciptaan Nabi Muhammad saw

yang ummi yang hidup pada awal abad ke enam Masehi (571 - 632 M).

Demikian juga ayat-ayat yang berhubungan dengan sejarah seperti tentang kekuasaan

di Mesir, Negeri Saba'. Tsamud, 'Ad, Yusuf, Sulaiman, Dawud, Adam, Musa dan lain-lain

dapat memberikan keyakinan kepada kita bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Allah bukan

ciptaan manusia. Ayat-ayat yang berhubungan dengan ramalan-ramalan khusus yang

kemudian dibuktikan oleh sejarah seperti tentang bangsa Romawi, berpecah-belahnya Kristen

dan lain-lain juga menjadi bukti lagi kepada kita bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Allah
SWT.(5)

Bahasa Al-qur'an adalah mu'jizat besar sepanjang masa, keindahan bahasa dan

kerapihan susunan katanya tidak dapat ditemukan pada buku-buku bahasa Arab lainnya.

Gaya bahasa yang luhur tapi mudah dimengerti adalah merupakan ciri dari gaya bahasa Al-

Qur'an. Karena gaya bahasa yang demikian itulah Umar bin Khattab masuk Islam setelah

mendengar Al-Qur'an awal surat Thaha yang dibaca oleh adiknya Fathimah. Abul Walid,

diplomat Quraisy waktu itu, terpaksa cepat-cepat pulang begitu mendengar beberapa ayat dari

surat Fushshilat yang dikemukakan Rasulullah sebagai jawaban atas usaha-usaha bujukan dan

diplomasinya.

5Terdapat disurat 30 ayat 2,3,4 dan surat 5 ayat 14


Bahkan Abu Jahal musuh besar Rasulullah, sampai tidak jadi membunuh Nabi karena

mendengar surat adh-Dhuha yang dibaca Nabi. Tepat apa yang dinyatakan Al-Qur'an, bahwa

sebab seorang tidak menerima kebenaran Al-Qur'an sebagai wahyu Ilahi adalah salah satu

diantara dua sebab, yaitu :

a. Tidak berpikir dengan jujur dan sungguh-sungguh.

b. Tidak sempat mendengar dan mengetahui Al-Qur'an secara baik.

Oleh Al-Qur'an disebut Al-Maghdhub ( dimurkai Allah ) karena tahu kebenaran tetapi tidak

mau menerima kebenaran itu, dan disebut adh-dhollin ( orang sesat ) karena tidak

menemukan kebenaran itu. Sebagai jaminan bahwa Al-Qur'an itu wahyu Allah, maka Al-

Qur'an sendiri menantang setiap manusia untuk membuat satu surat saja yang senilai dengan

Al-Qur'an (2:23, 24, 17:88). Sebagai pedoman hidup, Al-Qur'an banyak mengemukakan

pokok-pokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam hubungan antara manusia

dengan Allah dan mahluq lainnya.

Didalamnya terdapat peraturan-peraturan seperti : beribadah langsung kepada Allah

(2:43,183,184,196,197; 11:114), berkeluarga (4:3, 4,15,19,20,25; 2:221; 24:32; 60:10,11),

bermasyarakat ( 4:58; 49:10,13; 23:52; 8:46; 2:143), berdagang (2:275,276,280; 4:29), utang-

piutang (2:282), kewarisan (2:180; 4:7-12,176; 5:106), pendidikan dan pengajaran (3:159;

4:9,63; 31:13-19; 26:39,40), pidana (2:178; 4:92,93; 5:38; 10:27; 17:33; 26:40), dan aspek-

aspek kehidupan lainnya yang oleh Allah dijamin dapat berlaku dan dapat sesuai pada setiap

tempat dan setiap waktu (7:158; 34:28; 21:107).

Setiap Muslim diperintahkan untuk melakukan seluruh tata nilai tersebut dalam

kehidupannya. Dan sikap memilih sebagian dan menolak sebagian tata nilai itu dipandang

Al-Qur'an sebagai bentuk pelanggaran dan dosa. Melaksanakannya dinilai ibadah,

memperjuangkannya dinilai sebagai perjuangan suci, mati karenanya dinilai sebagai mati

syahid, hijrah karena memperjuangkannya dinilai sebagai pengabdian yang tinggi, dan tidak

mau melaksanakannya dinilai sebagai zhalim, fasiq, dan kafir.

Sebagai korektor Al-Qur'an banyak mengungkapkan persoalan-persoalan yang

dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil, dan lain-lain yang dinilai Al-Qur'an sebagai tidak sesuai

dengan ajaran Allah yang sebenarnya. Baik menyangkut segi sejarah orang-orang tertentu,

hukum-hukum,prinsip-prinsip ketuhanan dan lain sebagainya. Sebagai contoh koreksi-

koreksi yang dikemukakan Al-Qur'an tersebut antara lain sebagai berikut :


a. Tentang ajaran Trinitas (5:73).

b. Tentang Isa (3:49, 59; 5:72, 75).

c. Tentang penyaliban Nabi Isa (4:157,158).

d. Tentang Nabi Luth (29:28-30; 7:80-84) perhatikan, (Genesis : 19:33-36).

e. Tentang Harun (20:90-94), perhatikan, (keluaran : 37:2-4).

f. Tentang Sulaiman (2:102; 27:15-44), perhatikan (Raja-raja 21:4-5) dll.

Adapun pokok-pokok kandungan dalam al-Qur’an antara lain:

a. Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah dan semua kepercayaan yang

berhubungan dengan-Nya.

b. Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran

tauhid.

c. Janji dan ancaman (al wa’d wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang percaya

dan mau mengamalkan isi al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang

mengingkarinya.

d. Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah

maupun kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang mengingkari kebenaran al-

Qur’an agar dapat dijadikan pembelajaran bagi umat setelahnya.

Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:

• Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan

Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin

dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu

Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.

• Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia

dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan

lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut

hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.

• Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia

dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini

tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu

Akhlaq atau Tasawuf.


Sedangakan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:

• Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT,

misalnya salat, puasa, zakat, haji, dank urban.

• Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan

alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:

• Hukum munakahat (pernikahan).

• Hukum faraid (waris).

• Hukum jinayat (pidana).

• Hukum hudud (hukuman).

• Hukum jual-beli dan perjanjian.

• Hukum al-khilafah (tata Negara/kepemerintahan).

• Hukum makanan dan penyembelihan.

• Hukum aqdiyah (pengadilan).

• Hukum jihad (peperangan).

• Hukum dauliyah (antarbangsa).


B. As-Sunnah / Al-Hadits

1. Dasar Pengertian.

Secara etimologis hadits bisa berarti : Baru, seperti kalimat : " Allah Qadim mustahil

Hadits ". Dekat, seperti : " Haditsul " ahli bil Islam ". Khabar, seperti : "Falya'tu bi haditsin

mitslihi ". Dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti : Segala Perbuatan, Perkataan, dan
Keizinan Nabi Muhammad saw.(6) Pengertian hadits sebagaimana tersebut diatas adalah

identik dengan Sunnah, yang secara etimologis berarti jalan atau tradisi, sebagaimana dalam

Al-Qur'an : " Sunnata man qad arsalna " ( al-Isra :77 ). Juga dapat berarti : Undang-undang

atau peraturan yang tetap berlaku; Cara yang diadakan; Jalan yang telah dijalani;.

Ada yang berpendapat antara Sunnah dengan Hadits tersebut adalah berbeda-beda.

Akan tetapi dalam kebiasaan hukum Islam antara Hadits dan Sunnah tersebut hanyalah

berbeda dalam segi penggunaannya saja, tidak dalam tujuannya.

2. As-Sunnah Sebagai Sumber Nilai.

Sunnah adalah sumber Hukum Islam ( Pedoman Hidup Kaum Muslimin ) yang kedua

setelah Al-Qur'an. Bagi mereka yang telah beriman kepada Al-Qur'an sebagai sumber hukum,

maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah sebagai sumber Islam juga. Ayat-ayat

Al-Qur'an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, seperti : Setiap

mu'min harus taat kepada Allah dan Rasul-nya ( al-Anfal :20, Muhammad :33, an-Nisa :59,

Ali-Imran :32, al-Mujadalah : 13, an-Nur : 54,al-Maidah : 92 ). Kepatuhan kepada Rasul

berarti patuh dan cinta kepada Allah ( an-Nisa :80, Ali-Imran :31 ). Orang yang menyalahi

Sunnah akan mendapatkan siksa ( an-Anfal :13, Al-Mujadalah :5, an-Nisa :115 ). Berhukum

terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. ( an-Nisa':65 ). Kemudian perhatikan

ayat-ayat : an-Nur : 52; al-Hasyr : 4; al-Mujadalah : 20; an-Nisa': 64 dan 69; al-Ahzab: 36

dan 71; al-Hujurat :1; al-Hasyr : 7 dan sebagainya.

Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan

menghadapi kesulitan dalam hal : cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain

sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur'an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan

umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasullullah. Selain itu juga

akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak,

muhtamal dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya.

6 Af 'al, Aqwal dan Taqrir


Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan

rasio sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subjektif dan tidak

dapat dipertanggungjawabkan.

3. Hubungan As-Sunnah dan Al-Qur'an.

Dalam hubungan dengan Al-Qur'an, maka as-Sunnah berfungsi sebagai penafsir,

pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi as-

Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur'an itu adalah sebagai berikut :

• Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan

musytarak. Seperti hadits : " Shallu kama ro-aitumuni ushalli ". ( Shalatlah kamu

sebagaimana kamu melihatku shalat ) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-

Qur'an yang umum, yaitu : " Aqimush- shalah ", ( Kerjakan shalat ). Demikian pula

hadits: " Khudzu anni manasikakum " ( Ambillah dariku perbuatan hajiku ) adalah

tafsir dari ayat Al-Qur'an " Waatimmulhajja " ( Dan sempurnakanlah hajimu ).

• Bayan Taqrir, yaitu as-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat

pernyataan al-Qur'an. Seperti hadits yang berbunyi : " Shoumu liru'yatihiwafthiru

liru'yatihi " ( Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya )

adalah memperkokoh ayat Al-Qur'an dalam surat Al-Baqarah : 185.

• Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur'an, seperti

pernyataan Nabi : " Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik

harta-hartamu yang sudah dizakati ", adalah taudhih ( penjelasan ) terhadap ayat Al-

Qur'an dalam surat at-Taubah : 34 yang berbunyi sebagai berikut : " Dan orang-orang

yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah

maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih ". Pada waktu ayat ini turun

banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka

mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.

4. Perbedaan Antara Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai Sumber Hukum

Sekalipun al-Qur'an dan as-Sunnah / al-Hadits sama-sama sebagai sumber hukum

Islam, namun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil.

Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain ialah :
• Al-Qur'an nilai kebenarannya adalah qath'I(7) Sedangkan al-Hadits adalah zhanni (

kecuali hadits mutawatir ).


• Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Tetapi tidak semua

hadits mesti kita jadikan sebagai pedoman hidup. Sebab disamping ada sunnah yang

tasyri' ada juga sunnah yang ghairu tasyri. Disamping ada hadits yang shahih adapula

hadits yang dha,if dan seterusnya.

• Al-Qur'an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya sedangkan hadits tidak.

• Apabila Al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib,

maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi tidak harus demikian apabila

masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadits........

5. Sejarah Singkat Perkembangan Al-Hadits.

Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada 7 periode yaitu :

• Masa wahyu dan pembentukan hukum ( pada Zaman Rasul : 13 SH - 11 SH ).

• Masa pembatasan riwayat ( masa khulafaur-rasyidin : 12-40 H ).

• Masa pencarian hadits ( pada masa generasi tabi'in dan sahabat-sahabat muda : 41 H -

akhir abad 1 H ).

• Masa pembukuan hadits ( permulaan abad II H ).

• Masa penyaringan dan seleksi ketat ( awal abad III H ) sampai selesai.

• Masa penyusunan kitab-kitab koleksi ( awal abad IV H sampai jatuhnya Baghdad

pada tahun 656 H ).

• Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab

koleksi yang lebih umum ( 656 H dan seterusnya ).

Pada zaman Rasulullah al-Hadits belum pernah dituliskan sebab :

• Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang

diizinkan beliau sebagai catatan pribadi.

• Rasulullah berada ditengah-tengah ummat Islam sehingga dirasa tidak sangat perlu

untuk dituliskan pada waktu itu.

• Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas.

• Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-Qur'an.

• Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan

da'wah yang sangat penting.

7Absolut/kekal


Pada zaman-zaman berikutnya pun ternyata al-Hadits belum sempat dibukukan

karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman Umar bin Abdul Azis, khalifah ke-8 dari

dinasti Bani Umayyah ( 99-101 H ) timbul inisiatif secara resmi untuk menulis dan

membukukan hadits itu. Sebelumnya hadits-hadits itu hanya disampaikan melalui hafalan-

hafalan para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada sa'at generasi

tabi'in mencari hadits-hadits itu. Diantara sahabat-sahabat itu ialah :

Abu Hurairah, meriwayatkan hadits sekitar 5374 buah. Abdullah bin Umar bin

Khattab, meriwayatkan sekitar 2630 buah. Anas bin Malik, meriwayatkan sebanyak 2286

buah. Abdullah bin Abbas, meriwayatkan sebanyak 1160 buah. Aisyah Ummul Mu'minin,

meriwayatkan sebanyak 2210 buah. Jabir bin Abdillah meriwayatkan sebanyak 1540 buah.

Abu Sa'id al-Hudri meriwayatkan 1170 buah.

Kenapa kemudian Hadits Dikodifikasi.

Kodifikasi Hadits itu justru dilatar belakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat

dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu dikalangan ummat Islam, baik yang dibuat oleh

ummat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang

sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini ternyata masih banyak

hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa literatur kaum Muslimin. Di samping itu

tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang berkembang dikalangan masyarakat Islam,

berupa anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai

hadits. Walaupun ditinjau dari segi isi materinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip

pokok ajaran Islam, tetapi kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu ucapan itu

sebagai ucapan Rasulullah kalau memang bukan sabda Rasul. Sebab Sabda Rasulullah :

" Barangsiapa berdusta atas namaku maka siap-siap saja tempatnya dineraka ".

Alhamdulillah, berkat jasa-jasa dari ulama-ulama yang saleh, hadits-hadits itu

kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam buku, serta diadakan seleksi-seleksi

ketat oleh mereka sampai melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu

Musthalah Hadits. Walaupun usaha mereka belum dapat membendung seluruh usaha-usaha

penyebaran hadits-hadits palsu dan lemah, namun mereka telah melahirkan norma-norma dan

pedoman-pedoman khusus untuk mengadakan seleksi sebaik-baiknya yang dituangkan dalam

ilmu musthalah hadits tersebut.


Sehingga dengan pedoman itu ummat Islam sekarang pun dapat mengadakan seleksi-

seleksi seperlunya. Nama-nama Ishak bin Rahawih, Imam Bukhari, Imam Muslim, ar-Rama

at-Turmudzi, al-Madini, Ibnu Shalah dan banyak lagi ulama-ulama saleh lainnya adalah

rentetan nama-nama yang besar jasanya dalam usaha penyelamatan hadits-hadits dari

kepalsuan-kepalsuan sehingga lahirlah ilmu tersebut.

Untuk memberikan gambaran perkembangan hadits dapat kita perhatikan perkembangan

kelahiran kitab-kitab hadits dan ilmu-ilmu hadits.

6. Perkembangan Kitab-kitab Hadits

A. Cara penyusunan kitab-kitab hadits.

Dalam penyusunan kitab-kitab hadits para ulama menempuh cara-cara antara lain :

1. Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqhiyah, mengumpulkan hadits-hadits yang

berhubungan dengan shalat umpamanya dalam babush-shalah,hadits-hadits yang

berhubungan dengan masalah wudhu dalam babul-wudhu dan sebagainya. Cara ini

terbagi dua macam :

a. Dengan mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja, seperti yang ditempuh oleh

Imam Bukhari dan Muslim.

b. Dengan tidak mengkhususkan hadits-hadits yang shahih ( asal tidak munkar ), seperti

yang ditempuh oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, dan sebagainya.

2. Penyusunan berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Cara ini terbagi dua

macam :

a. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan abjad.

b. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan nama qabilah. Mereka dahulukan

Banu Hasyim, kemudian qabilah yang terdekat dengan Rasulullah.

c. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan kronologik masuknya Islam.

Mereka didahulukan sahabat-sahabat yang termasuk assabiqunal awwalun kemudian

ahlul Badr, kemudian ahlul Hudaibiyah, kemudian yang turut hijrah dan seterusnya.

d. Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-bagi berdasarkan awamir, nawahi,

ikhbar, ibadat, dan af'alun nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam

shahehnya.

3. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan hadits, seperti yang ditempuh

oleh Abu Mansur Abdailani dalam Musnadul Firdausi dan oleh as-Suyuti dalam Jamiush-

Shagir.


B. Tingkatan Kitab Hadits.

Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar tingkatan kitab-kitab

hadits tersebut bisa dibagi sebagai berikut :

Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab hadits yang telah diusahakan para

penulisnya untuk hanya menghimpun hadits-hadits yang shahih saja.

Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab hadits yang tidak sampai kepada derajat

munkar. Walaupun mereka memasukkan juga hadits-hadits yang dha'if ( yang

tidak sampai kepada munkar ). Dan sebagian mereka menjelaskan kedha'ifannya.

Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits yang jumlahnya sangat banyak sekali.

Para penghimpunnya memasukkan hadits-hadits tersebut tanpa penyaringan yang

seksama dan teliti. Oleh karena itu didalamnya bercampur-baur diantara hadits-

hadits yang shahih, yang dha'if dan yang lebih rendah lagi. Adapun kitab-kitab

lain adalah disejajarkan dengan al-Musnad ini. Diantara kitab-kitab hadits yang

ada, maka Shahih Bukhari-lah kitab hadits yang terbaik dan menjadi sumber

kedua setelah al-Qur'an, dan kemudian menyusul Shahih Muslim. Ada para ulama

hadits yang meneliti kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata

kurang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun dalam cara penyusunan hadits-

hadits, kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, sedang syarat-syarat hadits yang

digunakan Bukhari ternyata tetap lebih ketat dan lebih teliti daripada apa yang

ditempuh Muslim. Seperti tentang syarat yang diharuskan Bukhari berupa

keharusan kenal baik antara seorang penerima dan penyampai hadits, dimana bagi

Muslim hanya cukup dengan muttashil ( bersambung ) saja.

7. Seleksi Hadits

Dengan menggunakan berbagai macam ilmu hadits itu, maka timbullah berbagai

macam nama hadits, yang disepakati oleh para ulama, yang sekaligus dapat menunjukkan

jenis, sifat, bentuk, dan kualitas dari suatu hadits. Yang paling penting untuk diketahui adalah

pembagian hadits itu atas dasar kualitasnya yaitu :

a. Maqbul ( dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup hadits shahih dan

hadits hasan.

b. Mardud ( tidak dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup hadits dha'if /

lemah dan hadits maudhu' / palsu.


Usaha seleksi itu diarahkan kepada tiga unsur hadits, yaitu :

a. Matan ( materi hadits ).

Suatu materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak bertentangan

dengan al-Qur'an atau hadits lain yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan realita, tidak

bertentangan dengan fakta sejarah, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran

Islam. Untuk sekedar contoh dapat kita perhatikan hadits-hadits yang dinilai baik,tapi

bertentangan isi materinya dengan al-Qur'an :

1. Hadits yang mengatakan bahwa " Seorang mayat akan disiksa oleh Tuhan karena ratapan

ahli warisnya ", adalah bertentangan dengan firman Allah : " Wala taziru waziratun wizra

ukhra " yang artinya " Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain " ( al-An'an :

164 ).

2. Hadits yang mengatakan : " Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan punya

hutang puasa, maka hendaklah dipuasakan oleh walinya ", adalah bertentangan dengan

firman Allah : " Wa allaisa lil insani illa ma-sa'a ", yang artinya : " Dan seseorang tidak

akan mendapatkan pahala apa-apa kecuali dari apa yang dia kerjakan sendiri ".

Ada satu norma yang disepakati oleh mayoritas ulama, yaitu : " Apabila Qur'an dan hadits

bertentangan, maka ambillah Qur'an ".

b. Sanad ( persambungan antara pembawa dan penerima hadits ).

Suatu persambungan hadits dapat dinilai segala baik, apabila antara pembawa dan

penerima hadits benar-benar bertemu bahkan dalam batas-batas tertentu berguru. Tidak boleh

ada orang lain yang berperanan dalam membawakan hadits tapi tidak nampak dalam susunan

pembawa hadits itu. Apabila ada satu kaitan yang diragukan antara pembawa dan penerima

hadits, maka hadits itu tidak dapat dimasukkan dalam kriteria hadits yang maqbul.

c. Rawi ( orang-orang yang membawakan hadits ) :

Seseorang yang dapat diterima haditsnya ialah yang memenuhi syarat-syarat :

• Adil, yaitu orang Islam yang baligh dan jujur, tidak pernah berdusta dan

membiasakan dosa.

• Hafizh, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat

dipertanggungjawabkan.


Berdasarkan kriteria-kriteria seleksi tersebut, maka jumhur ( mayoritas ) ulama

berpendirian bahwa kitab ash-Shahih Bukhari dan kitab ash-Shahih Imam Muslim dapat

dijamin keshahihannya ditinjau dari segi sanad dan rawi. Sedang dari segi matan kita dapat

memberikan seleksinya dengan pedoman-pedoman diatas. Beberapa langkah praktis dalam

usaha seleksi hadits, apakah sesuatu hadits itu maqbul atau tidak adalah :

1. Perhatikan materinya sesuai dengan norma diatas.

2. Perhatikan kitab pengambilannya ( rowahu = diriwayatkan atau ahrajahu = dikeluarkan ).

Apabila matannya baik diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, maka dapat dinilai hadits

itu shahih atau paling rendah hasan.

Dengan demikian dapat dikatakan shahih apabila ujung hadits itu oleh para ulama diberi kata-

kata :

a. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh jama'ah.

b. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 7.

c. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 6.

d. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh dua syaikh ( Bukhari dan Muslim ).

e. Disepakati oleh Bukhari dan Muslim ( Muttafaqun alaihi ).

f. Diriwayatkan oleh Bukhari saja atau oleh Muslim saja.

g. Diriwayatkan oleh ..dan disyahkan oleh Bukhari atau Muslim.

h. Diriwayatkan oleh ..dengan syarat Bukhari atau Muslim.

3. Apabila sesuatu hadits sudah baik materinya tetapi tidak termasuk dalam persyaratan pun

2 diatas maka hendaknya diperhatikan komentar-komentar ulama terhadap hadits itu

seperti :

• Komentar baik : Hadits quwat, hadits shahih,hadits jayyid, hadits baik, hadits pilihan

dan sebagainya.

• Komentar jelek : Hadits putus, hadits lemah, hadits ada illatnya, mauquf, maqthu,

mudallas, munkar, munqathi, muallak, dan lain sebagainya.

Dalam hal ini kita akan menemukan sesuatu hadits yang mendapatkan penilaian

berbeda / bertentangan antara seorang ulama dan lainnya. Maka langkah kita adalah :

dahulukan yang mencela sebelum yang memuji ( " Al-jarhu Muqaddamun alat ta'dil " ). Hal

ini apabila dinilai oleh sama-sama ahli hadits. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa

tidak semua komentar ulama tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Artinya sesuatu hadits

yang dikatakan oleh para ulama shahih, kadang-kadang setelah diteliti kembali ternyata tidak
demikian. Contohnya dalam hadits kita akan menemukan kata-kata dan dishahihkan oleh

Imam Hakim, oleh Ibnu Huzaimah dan lain-lain, tetapi ternyata hadits tersebut tidak shahih (

belum tentu shahih ).

4. Apabila langkah-langkah diatas tidak mungkin ditempuh atau belum memberikan

kepastian tentang keshahihan sesuatu hadits, maka hendaknya digunakan norma-norma

umum seleksi, seperti yang diterangkan diatas, yaitu menyelidiki langsung tentang sejarah

para rawi dan lain-lain, dan untuk ini telah disusun oleh para ulama terdahulu sejumlah

buku-buku yang membahas tentang sejarah dan keadaan para pembawa hadits, seperti

yang pernah dilakukan oleh al-Bukhari dalam bukunya ad-Dhu'afa ( kumpulan orang-

orang yang lemah haditsnya ).


C. Ijtihad

1. Definisi dan Fungsi Ijtihad

Secara bahasa ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan

sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum

tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah. Rasulullah saw

pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut : " Berhukumlah engkau

dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua

sumber tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka

ijtihadlah ". Kepada Ali bin Abi Thalib beliau pernah menyatakan : " Apabila engkau

berijtihad dan ijtihadmu betul, maka engkau mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila

ijtihadmu salah, maka engkau hanya mendapatkan satu pahala " Adapun dasar dari keharusan

berijtihad ialah antara lain terdapat pada al-Qur'an surat an-Nisa ayat 59.

Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro'yu

mencakup dua pengertian :

a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara

eksplisit oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.

b. Penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari

sesuatu ayat atau hadits.

2. Kedudukan Ijtihad

Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan

sebagi berikut :

a Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak

absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai

produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah

relatif.

b Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi

tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada

masa / tempat yang lain.

c Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah

mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.

d Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.


e Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat,

kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa

daripada ajaran Islam.

3. Cara ber-Ijtihad

Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode antara lain

sebagai berikut :

1.Qiyas

Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh

al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah

diterangkan hukumnya oleh al-Qur'an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh :

Menurut al-Qur'an surat al-Jum'ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar

adzan Jum'at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang

dilakukan pada saat mendengar adzan Jum'at ? Dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak

dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli

karena dapat mengganggu shalat Jum'at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-

perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum'at, juga dilarang. Contoh lain : Menurut

surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum

memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi

terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah

saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu

ketika Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah melakukan

suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa.

Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab

Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu.

2. Ijma’

Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah

ijtihadiyah. Ketika Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang

kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur'an dan as-

Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : " Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian

jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah ". Yang menjadi persoalan untuk saat

sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena

umat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya.
3. Istihsan

Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar

prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para
ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi(8) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang

diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum.

Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang

sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar

istihsan antara lain surat az-Sumar 18.

4. Mashalihul Mursalah

Yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan

kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari'at. Perbedaan antara istihsan
dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan(9) itu dengan

disertai dalil al-Qur'an / al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah

mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang

secara tertulis exsplisit dalam al-Qur'an / al-Hadits.

7Analogi samar-samar
8Kebaikan


BAB III

KESIMPULAN

Dari ketiga sumber hukum islam tersebut tidak terlepas oleh sumber hukum yang

disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad, landasannya berdasarkan

hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.

!"#$%&:”'() *+,-.

/01*”23: 456*!:”/45.768 97” : : 7;<= :”/;<=768 97” : ;>38!

Jual Beli Dengan Cara Kredit

Kredit dalam pengertian bahasa Indonesia adalah cara penjualan barang dengan pembayaran tidak secara tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur).
Pengertian ini mempunyai cakupan yang luas dalam fiqh Mu’amalat bentuknya bisa dikatagorikan dalam pengertian kredit menurut bahasa Indonesia.

Masalah-masalah itu adalah: 1. Jual beli secara taqsith.
2. Jual beli dengan cara Al-‘Inah.
3. Masalah At-Tawarruq.
4. Bai’ul Murabah lil Amiri bisy Syira` (Jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian).
5. Al-Ijar Al-Muntahi bit tamlik (penyewaan yang berakhir dengan kepemilikan).
Karena pentingnya masalah jual beli dengan cara kredit, dan karena telah mewarnai banyak aspek mu’amalat serta kaburnya masalah ini bagi kalangan kaum muslimin, maka kami akan mencoba mengetengahkan kepada para pembaca pembahasan ini dengan harapan dapat menguak banyak tirai dan menperjelas seluruh sisi masalah ini. Wallahul Musta’an Wa ‘Alaihit Tuklan.

Jual beli secara Taqsith

Taqsith secara bahasa adalah bermakna membagi sesuatu menjadi bagian-bagian tertentu dan terpisah.
Adapun secara istilah, ada beberapa definisi dikalangan para penulis masalah ini yang mungkin bisa didekatkan pengertiannya dalam definisi berikut ini ;
Jual beli secara taqsith adalah menjual sesuatu dengan pembayaran yang ditangguhkan, diserahkan dengan pembagian-pembagian tertentu pada waktu yang telah ditetapkan dengan jumlah keseluruhannya yang lebih banyak dari harga kontan.
Contoh : Seseorang membeli mobil dengan harga Rp. 100.000.000,- dengan membayar pada setiap bulannya sebanyak Rp. 10.000.000,- selama sepuluh bulan. Dimana harga mobil ini secara kontan hanya Rp. 90.000.000,-.

Hukum jual beli secara Taqsith:
Ada dua pendapat dikalangan para ulama tentang hukum jual beli secara taqsith ini dan uraiannya sebagai berikut :
Pendapat Pertama : Bolehnya jual beli secara taqsith. Ini adalah pendapat Jumhur Ulama (kebanyakan ulama) dari kalangan shohabat, tabi’in dan para Imam Ahli Ijtihad -termasuk didalamnya para pengikut fiqh empat madzhab-. Bahkan sebahagian ulama menukil kesepakatan para ulama tentang bolehnya hal ini.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, ketika ditanya tentang hukum membeli sekarung gula dan semisalnya dengan harga 150 Riyal SA sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent) dan ia senilai 100 Riyal secara kontan, maka beliau menjawab :
“Sesungguhnya Mu’amalah ini tidaklah mengapa, karena menjual secara kontan berbeda dari menjual secara kredit dan kaum muslimin terus menerus melakukan mu’amalah seperti ini. Ini adalah Ijma’ (kesepakatan) dari mereka tentang bolehnya. Dan telah syadz (ganjil/bersendirian) sebagian ulama, bila ia melarang adanya tambahan disebabkan karena (tambahan) waktu sehingga ia menyangka hal tersebut adalah bagian dari riba. Ia adalah pendapat tidak ada sisinya, bahkan tidaklah (hal tersebut) termasuk riba sama sekali karena seorang pedagang ketika ia menjual barang sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent), ia menyetujui adanya penangguhan hanyalah karena ia mengambil manfaat dengan tambahan (harga) dan si pembeli rela adanya tambahan karena ada pengunduran dan karena ketidakmampuannya untuk menyerahkan harga secara kontan maka keduanya mengambil manfaat dengan mu’amalah ini dan telah tsabit (pasti/tetap) dari Nabi shollallahu ‘alahi wa sallam sesuatu yang menunjukkan bolehnya hal tersebut…”. (Dinukil dari kitab Min Ahkamil Fiqhil Islamy Karya ‘Abdullah Al-Jarullah hal. 57-58 dengan perantara Bai’ut Taqsith karya Hisyam Alu Burgusy.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor kuda yang dia beli dengan harga 180 Dirham, lalu seseorang memintanya dengan harga 300 Dirham dalam jangka waktu (pembayaran) tiga bulan; apakah hal tersebut halal baginya.
Beliau menjawab : “Al-Hamdulillah, Apabila ia membelinya untuk diambil manfaatnya atau untuk ia perdagangkan maka tidaklah mengapa menjualnya sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent). Akan tetapi janganlah ia mengambil keuntungan dari orang yang butuh kecuali dengan keuntungan yang wajar. Jangan ia menambah (harga) karena daruratnya (karena ia sangat membutuhkannya,-pent.). [Adapun kalau ia butuh dirham lalu membelinya (kuda tersebut, -pent.) untuk ia jual pada saat itu juga dan ia mengambil harganya maka ini adalah makruh menurut (pendapat) yang paling zhohir dari dua pendapat ulama](1)”. Dari Majmu’ Al-Fatawa 29/501.
Dan dalam jilid 29 hal. 498-500, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil bolehnya hal tersebut berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan Al-Ijma’.
Dan hukum bolehnya ini juga merupakan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia dalam kitab ke-99 pada tanya jawab soal jual beli, keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy no. 51 (2/6) dan no. 64 (2/7), kesimpulan dalam AL-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dalam Al-Mudayanah, Fatwa Syaikh Sholih Al-Fauzan dalam Al-Muntaqa 3/198-202 no. 304-307, 4/135-136 no. 139 dan 5/211-212 no. 319., Fatwa Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh dalam syarah Bulughul Maram dan kebanyakan ulama di zaman ini.

Pendapat Kedua : Tidak bolehnya jual beli secara taqsith. Dinukil oleh Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Authar 5/162 (cet. Darul Kutub) dari Zainal ‘Abidin ‘Ali bin Husain dan beberapa orang Syiah. Diantara ulama zaman ini yang berpendapat tentang tidak bolehnya adalah Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah (5/419-427/no.2326) dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy dalam Ijabah As-Sail rahimahumallah.

Dalil-dalil Setiap Pendapat:
Adapun pendapat pertama, para penganutnya mempunyai dalil yang banyak, namun kami batasi penyebutannya dengan yang kuat saja menurut penilaian kami. Uraiannya adalah sebagai berikut :
Pertama : Asal dalam setiap mu’amalah adalah halal dan boleh. Dan kami sebutkan dalil-dalil tentang hal ini dalam dhobith pertama pada volume yang telah lalu.
Karena tidak ada nash/dalil yang menunjukkan haramnya membuat dua harga pada suatu barang, yaitu harga kontan dan harga kredit lalu penjual dan pembeli melakukan transaksi pada salah satu dari keduanya, maka jual beli dengan cara taqsith adalah halal berdasarkan kaidah/dhobith ini.

Kedua : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlangsung atas dasar suka sama-suka di antara kamu”. (QS. An-Nisa` : 29)
Sisi pendalilan : Jual beli dengan cara taqsith adalah transaksi yang berlangsung atas dasar suka sama suka, berarti jual beli secara taqsith ini adalah boleh menurut nash ayat.

Ketiga : Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَسْلَفَ فِيْ تَمْرِ فَلْيُسْلِفْ فِيْ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
“Siapa yang yang memberi salaf pada korma maka hendaknya memberi salaf pada takaran yang dimaklumi dan timbangan yang dimaklumi sampai waktu yang dimaklumi”. (Lafazh di atas bagi Imam Muslim)
Hadits diatas menunjukkan bolehnya As-Salam atau As-Salaf yaitu transaksi pada suatu barang yang maklum ; jelas sifatnya dan bentuknya, dibayar didepan kepada si penjual dan diambil pada waktu yang telah disepakati.
Contoh : Seperti penjual roti yang telah membayar harga 3000 buah roti tertentu kepada pabrik roti dengan perjanjian ia mengambilnya dari pabrik roti sebanyak 100 buah roti setiap harinya selama 30 hari.
As-Salam atau As-Salaf ini adalah diperbolehkan dalam syari’at Islam menurut kesepakatan para ulama.
Dari uraian diatas, di tarik suatu pendalilan tentang bolehnya jual beli secara Taqsith karena ia merupakan kebalikan dari As-Salam atau As-Salaf. Dan pada keduanya ada kesamaan jenis dari sisi adanya perbedaan antara harga dan barang, yaitu pada As-Salam atau As-Salaf, pembeli menyerahkan harganya kepada penjual dan mengambil barangnya selang beberapa waktu kemudian sesuai dengan perjanjian guna mendapatkan potongan harga semantara jual beli secara taqsith penjual menyerahkan barang kepada pembeli dan dibayar secara berangsur guna mendapat tambahan harga.

keempat : Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqorah : 282)
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma : “Ayat ini turun pada As-Salam secara khusus”.
Berkata Al-Qurthuby : “Maknanya bahwa Salam penduduk Madinah adalah sebab (turunnya) ayat, kemudian ia mencakup seluruh hutang piutang menurut Ijma’ (kesepakatan ulama,-pent.).”
Dan Al-Qurthuby juga berkata : “Hakikat hutang adalah sebuah ibarat bagi setiap mu’amalah yang salah satu dari dua barang adalah kontan dan yang lainnya secara berangsur dalam tanggung jawabnya karena barang menurut orang Arab adalah apa-apa yang hadir dan hutang adalah apa yang ghaib (tidak ada di depannya,-pent.)…”.

Kelima : Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :
جَاءَتْ بَرِيْرَةُ فَقَالَتْ إِنِّيْ كَاتَبْتُ أَهْلِيْ عَلَى تِسْعِ أَوَاقٍ فِيْ كُلِّ عَامٍ أَوْقِيَةٌ فَأَعِيْنِيْنِيْ فَقَالَتْ عَائِشَةُ إِنْ أَحَبَّ أَهْلُكِ أَنْ أُعِدَّهَا لَهُمْ عُدَّةً وَاحِدَةً وَأُعْتِقَكِ فَعَلْتُ وَيَكُوْنُ وَلَاؤُكِ لِيْ فَذَهَبْتُ إِلَى أَهْلِهَا فَأَبَوْا ذَلِكَ عَلَيْهَا فَقَالَتْ إِنِّيْ قَدْ عَرَضْتُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَأَبَوْا إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ الْوَلَاءُ لَهُمْ فَسَمَعَ بِذَلِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَنِيْ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ خُذِيْهَا فَأَعْتِقِيْهَا وَاشْتَرِطِيْ لَهُمُ الْوَلَاءَ فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
“Bariroh datang kepadaku lalu berkata : “Sesungguhnya saya melakukan mukatabah (2) terhadap keluargaku (tuanku,-pent.) dengan sembilan auqiyah, pada tiap tahunnya satu auqiyah (3) maka bantulah saya”. Maka ‘Aisyah berkata : “Kalau keluargamu suka aku akan menyiapkan persiapan sekaligus bagi mereka dan saya membebaskanmu, maka saya akan kerjakan dan hendaknya wala`mu adalah milikku”. Maka ia (Bariroh) pergi kepada keluarganya dan mereka enggan hal tersebut atasnya. Kemudian ia (Bariroh) berkata (kepada Aisyah,pent) : “Saya telah menawarkan hal tersebut pada mereka dan mereka enggan kecuali wala`nya untuk mereka”. Maka hal tersebut didengar oleh Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam lalu beliau bertanya kepadaku maka saya kabarkanlah hal tersebut kepadanya maka beliau bersabda : “Ambillah ia dan bebaskanlah serta syaratkan wala` terhadap mereka karena sesungguhnya wala` itu bagi siapa yang membebaskan.”
Berkata Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah : “Dan berdasarkan kisah Bariroh yang tsabit (tetap,pasti) dalam Ash-Shohihain, karena Ia (Bariroh) menebus dirinya dari tuannya dengan (harga) sembilan auqiyah pada setiap tahunnya satu auqiyah dan ini adalah jual beli secara taqsith. Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal tersebut bahkan beliau menetapkannya dan tidak melarang darinya. Dan tidak ada perbedaan antara harganya semisal dengan (harga) barang tersebut dijual dengannya secara kontan atau lebih dari hal tersebut karena (kelonggaran) waktu”. (Dari Fatawa Islamiyah 2/239 dengan perantara kitab Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` karya DR. Hisamuddin ‘Ifanah.)
Berkata Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh : “Didalamnya terdapat dalil tentang bolehnya jual beli secara taqsith karena Bariroh menebus dirinya secara taqsith sampai sembilan auqiyah, pada setiap tahun satu auqiyah…”. Dari Syarah Kitabul Buyu’ Bulughul Maram.

Adapun penganut pendapat kedua, mereka berdalilkan dengan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan Al-Hadits yang pendalilannya bertumpu penuh pada hadits Abu Hurairah dan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash yang dianggap terdapat didalamnya larangan tegas dari jual beli secara taqsith. Hadits-hadits itu adalah :
Satu : Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا
“Siapa yang menjual dua dengan penjualan dalam satu transaksi maka baginya (harga,-pent.) yang paling sedikit atau riba”.
Hadits dengan lafazh ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/307/20461, Abu Daud 3/274/3461, Ibnu Hibban 11/347-348/4974, Al-Hakim 2/45, Al-Baihaqy 5/343 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 34/389. Semuanya dari jalan Yahya bin Zakariya bin Abi Za`idah dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqomah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah….
Sisi pendalilan : Hadits ini menunjukkan haramnya jual beli secara taqsith dengan adanya penambahan pada harga kredit diatas harga kontan. Dan padanya juga dua penjualan, secara kontan dan kredit pada satu transaksi, sehingga pada hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan yaitu mengambil yang paling sedikit berupa harga kontan atau melakukan riba dengan mengambil harga kredit. Demikianlah hadits ini telah ditafsirkan oleh sebahagian ulama salaf bahwa makna dua penjualan dalam satu transaksi adalah jika seseorang berkata : “Barang ini secara cicil dengan harga sekian dan secara kontan dengan harga sekian”. Dan dikuatkan pula oleh ucapan Ibnu Mus’ud :
الصَّفْقَةُ فِي الصَّفْقَتَيْنِ رِبًا
“Transaksi dalam dua penjualan adalah riba”. (Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah 5/420 dan Al-Irwa` 5/148/1307)
Namun pendalilan ini sangatlah lemah disebabkan oleh beberapa alasan :
 Hadits Abu Hurairah dengan lafazh diatas adalah Syadz sebagaimana yang ditegaskan oleh pengarang kitab ‘Aunul Ma’bud 9/334 dan Syaikh Muqbil dalam Ahadits Mu’allah Zhohiruha Ash-Sihhah hal. 242 no. 369 (Cet. Kedua). Alasannya adalah karena hadits diatas diriwayatkan pula oleh :
1. Yahya bin Sa’id Al-Qoththon [riwayat Ahmad 2/432, 475, Ibnul Jarud no. 600, An-Nasa`i 7/295 dan dalam Al-Kubro 4/43/6228, Al-Baihaqy 5/343 dan Ibnu ‘Abdil Barr 24/389]
2. ‘Abdah bin Sulaiman [riwayat At-Tirmidzy 3/533/1231 dan Ibnu Hibban 11/347/4973]
3. ‘Abdul Wahhab bin ‘Atho` [riwayat Al-Baihaqy 5/343 dan Abu Ya’la 10/507/6124]
4. Yazid bin Harun [riwayat Ahmad 2/503 dan Al-Baghawy 8/142/2111]
5. Isma’il bin Ja’far [disebutkan oleh Al-Baihaqy dalam Al-Kubro 5/343]
6. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy [riwayat Al-Khaththoby dalam Ma’alimus Sunan 5/97 dan disebutkan oleh Al-Baihaqy dalam Al-Kubro 5/343]
7. Mu’adz bin Mu’adz Al-‘Anbary [disebutkan oleh Al-Baihaqy dalam Al-Kubro 5/343]
8. Muhammad bin ‘Abdullah Al-Anshory [riwayat Al-Khaththoby dalam Ma’alimus Sunan 5/97]
Semuanya meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqomah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, tapi dengan lafazh :
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ
“Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari dua penjualan dalam satu transaksi”.

 Kandungan hadits diatas tidaklah mencakup masalah jual beli secara taqsith karena seorang penjual –misalnya- bila menetapkan harga barang yang berbeda-beda berdasarkan panjang waktu kredit, lalu datang seorang pembeli dan bersepakat dengan penjual untuk mengambil barang tersebut dengan suatu harga tertentu dan jangka waktu kredit yang telah ditetapkan maka tentunya yang ada hanya satu transaksi ; tidak ada akad transaksi sebelumnya dan tidak pula ada transaksi setelah penjual dan pembeli bersepakat diatas suatu harga. Karena itu Ibnul Qoyyim berkata : “Dan telah jauh dengan sangat jauh orang yang membawa (pengertian) hadits kepada penjualan dengan 100 secara kredit dan 50 secara kontan, tidak ada disini (dalam jual beli secara taqsith,-pent.) riba, tidak pula jahalah (ketidak jelasan), ghoror, qimar dan tidak (pula) ada sesuatu dari kerusakan. Sesungguhnya ia memberi pilihan antara dua harga yang ia inginkan dan tidaklah ini lebih jauh dari memberikan pilihan kepadanya setelah transaksi selama tiga hari antara mengambil dan membiarkannya”. Baca : I’lamul Muwaqqi’in 3/150.

 Andaikata haidts Abu Hurairah dalam riwayat Yahya bin Zakariya bin Abi Za`idah dengan lafazh, “Siapa yang menjual dua dengan penjualan dalam satu transaksi maka baginya (harga,-pent.) yang paling sedikit atau riba,” kuat dan bisa dipakai berhujjah maka Al-Khaththoby dalam Ma’alim As-Sunan 5/97 berkata : “Saya tidak mengetahui seorangpun dari ahli fiqh yang berpendapat dengan zhohir hadits ini atau membenarkan transaksi dengan harga yang paling rendah kecuali sesuatu yang dihikayatkan dari Al-Auza’iy dan ia adalah madzhab yang rusak karena terkandung didalam akad ini berupa ghoror dan ketidak jelasan”.
Dan Al-Khaththoby juga menyebutkan bahwa makna yang paling pantas bagi hadits Abu Hurairah dari riwayat Yahya bin Zakariya bin Abi Za`idah adalah seperti orang yang memberi pinjaman senilai satu dinar (mata uang emas) berupa satu qofiz (takaran) burr (sejenis gandum) dalam jarak satu bulan. Kemudian setelah jatuh tempo, si peminjam yang belum mampu membayar berkata : “Juallah qofiz burr yang merupakan hakmu terhadapku dengan nilai dua qofiz sampai satu bulan lagi”. Maka ini adalah penjualan kedua yang telah masuk pada penjualan pertama sehingga jadinya dua penjualan dalam satu transaksi. Maka menurut konteks hadits keduanya harus kembali pada yang paling sedikit yaitu satu qofiz dan kapan transaksi dengan dua penjualan itu tetap berlangsung maka keduanya dianggap telah melakukan riba. Demikian kesimpulan keterangan beliau dalam Ma’alim As-Sunan 5/97 dan keterangan Ibnul Atsir dalam An-Nihayah semakna dengannya.
Adapun Ibnul Qayyim -dan ini juga beliau nukil dari Ibnu Taimiah- rahimahumallah maka beliau menganggap bahwa hadits Abu Hurairah dari riwayat Yahya bin Zakariya bin Abi Za`idah pengertiannya hanyalah terbatas dalam bentuk Bai’ul ‘Inah (4) saja, tidak pada yang lainnya.

 Adapun penafsiran makna dua penjualan dalam satu transaksi dengan perkataan sesorang : “Barang ini secara cicil dengan harga sekian dan secara kontan dengan harga sekian”, ini adalah menyelisihi penafsiran jumhur ulama (kebanyakan ulama).
Berkata Imam At-Tirmidzy setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah : “Sebagian ahli ilmu menafsirkannya, mereka berkata : “Dua penjualan dalam satu transaksi adalah (seseorang) berkata : “Saya menjual kepadamu baju ini dengan kontan (senilai) sepuluh dan dengan berangsur (senilai) dua puluh” dan ia tidak berpisah (baca : tidak bersepakat) dengannya pada salah satu harga. Kalau ia berpisah dengannya diatas salah satunya maka itu tidak apa-apa apabila akad berada diatas salah satu dari keduanya. Berkata Imam Asy-Syafi’iy : “Dan dari makna larangan Nabi shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam dari dua penjualan dalam satu transaksi, seseorang berkata : “Saya menjual rumahku kepadamu dengan (syarat) kamu menjual budakmu kepadaku dengan (harga) begini, kalau budakmu telah wajib untukku maka aku wajibkan rumahku untukmu” dan ini berpisah (baca : bersepakat) dengan penjualan tanpa harga yang pasti dan setiap dari keduanya tidak mengetahui bagaimana bentuk transaksinya terjadi”.”.
Tersimpul dari uraian At-Tirmidzy diatas bahwa pada makna dua penjualan dalam satu transaksi ada dua penafsiran :
1. Penjualan barang dengan harga kredit dan kontan kemudian penjual dan pembeli berpisah tanpa menentukan salah satu dari dua harga. Ini penafsiran yang paling banyak disebut.
2. Penjualan barang dengan mengharuskan pembeli untuk menjual suatu barangnya kepada penjual dengan harga yang ia inginkan tanpa mengetahui berapa harga barang itu sebenarnya.
Dan dua penafsiran diatas yang disebut dalam buku-buku fiqh dalam empat madzhab dan lain-lainnya. Dan dua perkara diatas yang tercakup dalam larang yang tertera dalam hadits.

 Pengarang kitab Hukmu Bai’ut Taqsith fisy Syari’ati wal Qonun ketika menguraikan Illat (sebab, alasan) pelarangan dua penjualan dalam satu transaksi dari ucapan-ucapan para Ahli hadits dan Ahli fiqh dari kalangan fiqh empat madzhab dan selainnya serta keterangan-keterangan dari kalangan shahabat, tabi’in dan sebagian ulama zaman ini, beliau menyimpulkan bahwa Illat pelarangan itu tidaklah keluar dari sebab ketidak jelasan harga atau karena bisa mengantar kepada riba menurut orang-orang Malikiyah. Dan Illat ini tidaklah terdapat pada jual beli secara taqsith yang diperbolehkan oleh Jumhur ulama.

Dua : Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِيْ بَيْعٍ
“Tidaklah halal pinjaman bersamaan dengan jual beli dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi”. (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1305-1306)
Sisi pendalilan : Konteks “Dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi” ditafsirkan oleh Al-Khaththoby dengan perkataan seseorang : “Saya jual pakaian ini ini secara kontan dengan satu dinar dan secara kredit dengan dua dinar”.

Jawabannya dari dua sisi :
1. Telah berlalu penegasan Al-Khaththoby bahwa hal tersebut terlarang bila transaksi terjadi tanpa menentukan salah satu dari dua harga.
2. Ibnul Qayyim dalam Tahdzib As-Sunan menafsirkan Konteks larangan “Dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi” bahwa itu pada jual beli dengan cara ‘Inah.
Maka bisa disimpulkan bahwa Konteks larangan “Dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi” apapun penafsirannya dengan dua penafsiran diatas, tetap tidak ada kaitannya dengan hukum jual beli secara taqsith.

Tarjih:
Dari uraian diatas nampak jelas kuatnya dalil-dalil pendapat pertama dan lemahnya dalil-dalil pendapat kedua sehingga memberikan kesimpulan pasti tentang bolehnya jual beli secara Taqsith. Dan hati semakin kokoh berpijak diatas pendapat bolehnya jual beli secara Taqsith karena itu merupakan pendapat kebanyakan ulama bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -dan disetujui oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah- telah menukil kesepakatan ulama tentang bolehnya. Wallahu A’lam.

Bentuk-bentuk Jual Beli Secara Taqsith:
Satu : Sistim kontan dan kredit.
Contoh : seorang penjual berkata : “Saya jual mobil ini seharga 100 juta secara kontan dan seharga 150 juta secara kredit”.

Dua : Sistim kredit pilihan dengan jangka waktu.
Contoh : seorang penjual berkata : “Saya jual mobil ini secara kredit, kalau satu tahun harganya 150 juta, kalau dua tahun harga 175 juta dan kalau tiga tahun harganya 200 juta”.

Tiga : Sistim kontan dan kredit dengan pilihan jangka waktu.
Contoh : seorang penjual berkata : “Saya jual mobil ini 100 juta secara kontan dan kalau secara kredit satu tahunnya seharga 150 juta, kalau dua tahun seharga 175 juta dan kalau tiga tahun seharga 200 juta”.

Tiga bentuk ini termasuk dalam kategori jual beli secara taqsith yang dibolehkan dalam syari’at Islam dan tentunya akad transaksi terhitung sah apabila terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli pada salah satu harga dan jangka waktu yang tertera dalam akad sebagaimana yang telah diterangkan. Pada contoh pertama –misalnya- harus ada kesepakatan apakah ia mengambil dengan harga kontan 100 juta atau mengambil secara kredit 150 juta. Demikian pula pada contoh kedua si pembeli harus memilih salah satu dari pilihan yang ada, apakah ia mengambil mobil itu secara kredit selama satu tahun, dua tahun atau tiga tahun dengan ketentuan harganya masing-masing, dan demikian seterusnya.

Beberapa Hukum Dan Etika Seputar Jual Beli Secara Taqsith:
 Tidak diragukan bahwa jual beli secara taqsith adalah mustahab (sunnah,dianjurkan) bila dilakukan dengan maksud memudahkan pembeli sesuai dengan apa yang mencocoki keadaannya. Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
رَحِمَ اللهُ عَبْدًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ , سَمْحًا إِذَا اشْتَرَى , سَمْحًا إِذَا اقْتَضَى
“Allah merahmati seorang hamba yang samhan (pemurah hati,toleran) bila membeli, samhan bila menjual (dan) samhan bila memberi keputusan”. (HR. Al-Bukhary)

 Transaksi jual beli secara taqsith yang dibolehkan tentunya bukan pada barang rabawy yang memiliki ‘illat yang sama. Sebab sebagaimana telah dijelaskan dalam volume yang telah lalu bahwa dua barang rabawy yang sama dalam ‘illatnya namun berbeda jenisnya, maka dalam penukaran antara satu jenis dengan yang lainnya disyaratkan harus saling pegang dan pada saat itu juga (kontan). Maka tidak boleh –misalnya- mencicil emas dengan menggunakan mata uang, sebab keduanya adalah barang rabawy dan memiliki ‘illat yang sama yaitu muthlaquts tsamaniyah (mempunyai nilai tukar dalam transaksi jual-beli) sehingga harus kontan tidak boleh secara kredit atau berangsur.

 Terlihat dalam praktek jual beli secara Taqsith adanya pensyaratan dari penjual agar hak kepemilikan diserahkan kepada pembeli saat penyerahan cicilan terakhir. Yaitu pembeli telah mengambil barangnya namun penulisan keterangan surat atau bukti kepemilikan bahwa barang itu adalah miliknya diserahkan saat pelunasan cicilan terakhir. Maksud pensyaratan tersebut adalah agar pembeli komitmen dan serius dalam menyelesaikan tunggakannya dan bila pembeli bangkrut, barang tidak diikutkan dalam perhitungan barang yang bangkrut sehingga merugikan penjual. Pensyaratan yang seperti ini dinilai oleh Syaikh ‘Abdulllah bin ‘Abdurrahman bin Jibrin mungkin untuk dibenarkan namun beliau sendiri tidak memastikan syahnya/benarnya dan beliau khawatir hal tersebut masuk dalam kategori penjualan dengan dua syarat yang terlarang. Disisi lain Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy dalam keputusan no. 51 (2/6) pada point keenam menyebutkan bahwa penjual tidak ada hak untuk menyimpan kepemilikan barang padanya setelah terjadi transaksi.

 Adapun kalau hak kepemilikan sudah ditetapkan dan tertulis untuk pembeli maka tidak mengapa penjual menyimpannya sebagai jaminan agar pembeli tetap menyelesaikan tunggakannya. Demikian Fatwa Syaikh Syaikh ‘Abdulllah bin ‘Abdurrahman Jibrin dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy dalam keputusan no. 51 (2/6) pada point keenam.

 Tidak diperbolehkan penjual menetapkan denda materi terhadap pembeli bila terjadi keterlambatan pembayaran setelah jatuh tempo, sama sekali tidak diperbolehkan walaupun penetapan denda terjadi sebelum akad transaksi karena hal tersebut tergolong riba jahiliyah yang telah diuraikan dalam Dhobith keempat dalam Volume 06 yang telah lalu. Adapun denda yang berkaitan dengan badan seperti dipenjara atau semisalnya maka hal tersebut diperbolehkan, tentunya dengan melalui mahkamah syari’at. Demikian kesimpulan Fatwa Syaikh Syaikh ‘Abdulllah bin ‘Abdurrahman Jibrin dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy dalam keputusan no. 51 (2/6) pada point ketiga dan keempat.

 Tidaklah pantas seorang muslim membeli dengan cara taqsith kecuali kalau punya kemampuan untuk membayar cicilannya dan bersungguh-sungguh untuk hal itu agar ia tidak merugikan orang lain dan tidak pula membebani dirinya dengan sesuatu yang ia tidak mampu.

 Boleh hukumnya membeli barang secara taqsith walaupun ia mampu membayar secara kontan. Kendati demikian kalau seseorang mampu membayar kontan maka itu lebih baik dan lebih terpuji untuk dirinya.

 Tidak boleh seorang penjual memanfaatkan banyaknya kebutuhan manusia untuk meninggikan harga sehingga menjadi sangat mahal.

 Muslim yang paling baik adalah orang yang menerapkan hadits Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam berikut ini :
إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baiknya dalam menunaikan”. (HR. Muslim dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu dan Riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Baca pembahasan Jual beli secara Taqsith diatas dalam : Bai’ut Taqsith Ahkamuhu wa Adabuhu karya Hisyam bin Muhammad Alu Burgusy, Hukmu Bai’ut Taqsith fisy Syari’ati wal Qonun karya DR. Muhammad ‘Aqlah Al-Ibrahim, Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh oleh Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih, AL-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah di huruf alif dari pembahasan (أَجل), Qararat Wa Taushiyat Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy, Syarah Kitabul Buyu’ min Bulughul Maram oleh Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-syaikh, Syarhus Sunnah karya Al-Baghawy 8/142-149 dan Ma’alimus Sunan karya Al-Khaththoby bersama Tahdzibus Sunan karya Ibnul Qoyyim 5/97-109.
___________
(1) Antara dua kurung adalah masalah At-Tawarruq yang akan datang penjelasannya
(2) Mukatabah adalah kesepakatan seorang budak untuk menebus dirinya dari tuannya dengan sejumlah harga tertentu dengan pembayaran yang telah ditentukan waktunya.
(3) Satu Auqiyah adalah 40 dirham dan satu dirham adalah seperdua tambah seperlima mitsqol dan satu mitsqol adalah 4.25 gr, berarti satu Auqiyah sejumlah 119 gr. Baca Taudhihul Ahkam.
(4) Akan datang uraian tentang haramnya Bai’ul ‘Inah.

Najis dan Cara Membersihkannya

Pendahuluan
Membersihkan najis dari badan, pakaian dan tempat shalat hukumnya adalah wajib berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan pakaianmu maka sucikanlah,” (QS. Al-Muddatstsir: 4) dan juga berdasarkan hadits-hadits yang akan datang.
Najis adalah semua benda yang dihukumi kotor oleh syariat, dan dia terbagi dua:
1. Hukmiah: Yaitu benda suci yang terkena najis.
2. Ainiah: Yaitu benda yang merupakan najis.
Perlu diketahui bahwa semua yang najis adalah haram, akan tetapi tidak semua yang haram adalah najis. Karenanya untuk menunjukkan sebuah benda itu najis, tidak cukup berdalil dengan dalil yang menunjukkan haramnya, karena asal segala sesuatu di bumi adalah suci sampai ada dalil yang menyatakan najisnya.
[Lihat: Bidayatul Mujtahid: 1/54-55, 60, Asy-Syarhul Mumti': 1/414-415 dan Subulus Salam: 1/158] A. Apakah najis hanya bisa dihilangkan dengan air?
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini -dan merupakan pendapat Al-Hanafiah- adalah bahwa yang menjadi patokan dalam masalah ini adalah hilangnya zat najis tersebut. Karenanya kalau zat najisnya sudah hilang maka berarti dia telah suci, walaupun hilangnya najis tidak dengan menggunakan air. Misalnya: Tinja manusia yang mengalami istihalah (perubahan wujud) menjadi tanah maka dia menjadi suci, atau kencing di kain hilang oleh angin dan sinar matahari (tanpa disiram air) maka dia juga sudah dianggap suci, atau sandal yang menginjak najis digosokkan ke tanah. Walaupun tidak diragukan bahwa alat yang paling afdhal digunakan untuk membersihkan najis adalah air, karena dia lebih menyucikan, wallahu a’lam. Ini yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dalam Al-Mumti’: 1/424-427
(Lihat juga: Al-Bidayah: 1/60-61 dan Nailul Authar: 1/52-53, 56)

B. Cara menghilangkan najis
Cara menyucikan sebuah benda yang terkena najis adalah dengan menghilangkan zat, rasa, bau dan warna dari najis tersebut. Akan tetapi kalau bau atau warnanya susah untuk hilang -misalnya pada darah haid-, maka itu dimaafkan (tidak masalah) selama zat sudah hilang dan benda tersebut sudah dihukumi suci. Ini berdasarkan kisah Khaulah bintu Yasar yang bertanya kepada Nabi tentang darah haid yang mengenai pakaian, maka beliau menjawab, “Cukup kamu siramkan air dan tidak mengapa dengan bekasnya.” HR. Abu Daud
[Lihat: Manarus Sabil: 1/24 dan As-Subul: 1/169]
Akan tetapi diperkecualikan darinya masalah istijmar (bebersih dari tinja dan kencing dengan menggunakan batu atau yang semisalnya). Karena sudah diketahui bersama bahwa tinja tidak akan hilang secara sempurna dengan batu tapi pasti masih tersisa sedikit najis, akan tetapi bersamaan dengan itu syariat memaafkannya. Ini adalah pendapat dari Imam Asy-Syafi’i.
[Lihat Al-Bidayah: 1/59]
Adapun berapa kali mencucinya, maka tidak ada dalil yang menerangkan jumlahnya kecuali pada jilatan anjing, dicuci sebanyak 7 kali atau delapan kali. Maka asalnya kalau disiram satu kali najisnya sudah hilang maka itu sudah cukup.
[Lihat: Al-Mumti': 1/420-423]

C. Berikut benda-benda yang merupakan najis:
1. Kencing dan tinja manusia.
Ini berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri, “Apabila salah seorang dari kalian datang ke mesjid, maka hendaklah ia membalik sandalnya lalu melihatnya, bila ada kotoran maka hendaknya ia gosokkan ke bumi, lalu ia shalat memakai sandalnya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud) Ini pada tinja. Adapun kencing, maka dalilnya adalah hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhari dan Muslim tentang kisah orang pedalaman yang kencing di masjid, kemudian Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan para shahabat untuk mengambil satu timba besar berisi air lalu menuangkannya di atas kencing tersebut.
Kencing manusia di sini mencakup kencing anak kecil (lelaki dan perempuan) yang belum memakan apa-apa kecuali ASI, berdasarkan keumuman hadits di atas. Hanya saja dalam menyucikannya terdapat perbedaan, dimana Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Kencing anak lelaki disirami air dan kencing anak perempuan dicuci.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad dari Ali).
[An-Nail: 1/55-57, 85, Al-Mumti': 1/437-438 dan As-Subul: 1/165-166]
2. Rautsah (tinja kuda, keledai dan baghal -peranakan dari kuda dan keledai-)
Ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mendatangi tempat buang hajat. Maka beliau memerintahkan saya mengambil tiga batu untuknya. Maka saya hanya mendapatkan dua batu dan tidak menemukan yang ketiga. Lalu saya mengambil rautsah, maka beliau mengambil kedua batu tersebut dan melemparkan rautsah dan berkata: “Ini adalah riksun (najis)”. HR. Al-Bukhari
[Lihat An-Nail: 1/65 dan Lisanul Arab: 4/206]
3. Madzi
Dia adalah air yang keluar dari kemaluan lelaki dan perempuan yang sifatnya tipis, putih, keluar ketika adanya syahwat, tidak terpencar sehingga keluarnya kadang tanpa disadari serta tidak merasa lelah setelah keluarnya. Definisi ini disebutkan oleh An-Nawawi dan Ibnu Hajar -rahimahumallah-. Najisnya berdasarkan kisah Al-Miqdad yang bertanya kepada Nabi tentang madzi, maka beliau menjawab, “Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ali). Perintah mencuci kemaluan menunjukkan najisnya, dan yang dicuci hanyalah bagian kemaluan dan bagian pakaian yang terkena madzi saja.
[Lihat: An-Nail: 1/66-67]
4. Darah haid dan nifas
Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda tentang darah haid yang mengenai pakaian, “Hendaknya dia menggosoknya kemucian mengoreknya dengan kuku kemudian menyiramnya dengan air kemudian dia baru boleh shalat dengan pakaian itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Asma` bintu Abi Bakar) Adapun nifas, maka para ulama telah bersepakat bahwa secara umum semua hukum yang belaku pada haid juga berlaku pada nifas.
[Lihat: An-Nail: 1/51-53 dan As-Subul: 1/167-168]
5. Semua bangkai najis kecuali empat bangkai: Manusia, hewan yang hidup di air, belalang dan hewan yang darahnya tidak mengalir.
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas riwayat Muslim secara marfu’, “Kalau kulit bangkai itu telah disamak maka dia telah suci.” Jadi sebelum dia disamak hukumnya adalah najis. Dikecualikannya keempat bangkai di atas karena adanya dalil-dalil sebagai berikut:
Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda tentang manusia, “Seorang mukmin tidaklah najis, ketika hidup dan setelah matinya.” (HR. Asy-Syafi’i dari Ibnu Abbas). Beliau juga bersabda tentang laut, “Dia penyuci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Imam Empat dari Abu Umamah). Dan Anas bin Malik berkata, “Kami pernah berperang bersama Nabi sebanyak 7 kali dan kami hanya memakan belalang.” (HR. Al-Bukhari) Dan perintah Nabi untuk mencelupkan lalat yang jatuh ke minuman dalam hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhari, menunjukkan tidak najisnya bangkai lalat dan hewan lain yang darahnya tidak mengalir.
[Lihat: Al-Bidayah: 1/55-56, An-Nail 1/32-33, 71-73, Al-Mumti', 1/447-450]
6. Liur anjing
Dari Abu Hurairah secara marfu’, “Sucinya bejana kalian kalau anjing meminum darinya adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, cucian pertamanya dengan tanah.” (HR. Muslim). Sabda Nabi ‘sucinya’ menunjukkan sebelumnya dia adalah najis, maka itu menunjukkan najisnya liur anjing.
Adapun cara mencucinya maka salah satu caranya telah disebutkan dalam hadits di atas. Cara yang kedua tersebut dalam hadits Abdullah bin Mughaffal, “Kalau anjing meminum dari bejana kalian maka cucilah bejananya sebanyak tujuh kali (dengan air) dan pada cucian yang kedelapan campurlah airnya dengan tanah.” HR. Muslim
[Lihat: An-Nail: 1/46-48 dan Al-Mumti': 1/417-418]
Selain dari yang telah kami sebutkan di atas, ada persilangan pendapat di kalangan ulama apakah dia najis atau bukan. Misalnya pada tinja hewan yang haram dimakan, tubuh anjing, orang kafir, darah selain haid, khamar, babi dan selainnya. Dan kami lebih menguatkan pendapat yang menyatakan tidak najisnya, karenanya kami tidak menyebutkannya di sini. Wallahu a’lam bishshawab.

Cara Termudah Menghafal Al-Qur`an Al-Karim



Segala pujian hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya, dan para sahabat seluruhnya.
Keistimewaan metode ini adalah seseorang akan memperoleh kekuatan dan kemapanan hafalan serta dia akan cepat dalam menghafal sehingga dalam waktu yang singkat dia akan segera mengkhatamkan Al-Quran. Berikut kami akan paparkan metodenya beserta pencontohan dalam menghafal surah Al-Jumuah: 1. Bacalah ayat pertama sebanyak 20 kali.
2. Bacalah ayat kedua sebanyak 20 kali.
3. Bacalah ayat ketiga sebanyak 20 kali.
4. Bacalah ayat keempat sebanyak 20 kali
5. Keempat ayat di atas dari awal hingga akhir digabungkan dan dibaca ulang sebanyak 20 kali.
6. Bacalah ayat kelima sebanyak 20 kali.
7. Bacalah ayat keenam sebanyak 20 kali.
8. Bacalah ayat ketujuh sebanyak 20 kali.
9. Bacalah ayat kedelapan sebanyak 20 kali.
10. Keempat ayat (ayat 5-8) di atas dari awal hingga akhir digabungkan dan dibaca ulang sebanyak 20 kali.
11. Bacalah ayat pertama hingga ayat ke 8 sebanyak 20 kali untuk memantapkan hafalannya.
Demikian seterusnya pada setiap surah hingga selesai menghafal seluruh surah dalam Al-Quran. Jangan sampai kamu menghafal dalam sehari lebih dari seperdelapan juz, karena itu akan menyebabkan hafalanmu bertambah berat sehingga kamu tidak bisa menghafalnya.

JIKA AKU INGIN MENAMBAH HAFALAN PADA HARI BERIKUTNYA, BAGAIMANA CARANYA?
Jika kamu ingin menambah hafalan baru (halaman selanjutnya) pada hari berikutnya, maka sebelum kamu menambah dengan hafalan baru dengan metode yang aku sebutkan di atas, maka anda harus membaca hafalan lama (halaman sebelumnya) dari ayat pertama hingga ayat terakhir (muraja’ah) sebanyak 20 kali agar hafalan ayat-ayat sebelumnya tetap kokoh dan kuat dalam ingatanmu. Kemudian setelah mengulangi (muraja’ah) maka baru kamu bisa memulai hafalan baru dengan metode yang aku sebutkan di atas.

BAGAIMANA CARANYA AKU MENGGABUNGKAN ANTARA MENGULANG (MURAJA’AH) DENGAN MENAMBAH HAFALAN BARU?
Jangan sekali-kali kamu menambah hafalan Al-Qur`an tanpa mengulang hafalan yang sudah ada sebelumya. Hal itu karena jika kamu hanya terus-menerus melanjutkan menghafal Al-Qur’an hingga khatam tapi tanpa mengulanginya terlebih dahulu, lantas setelah khatam kamu baru mau mengulanginya dari awal, maka secara tidak disadari kamu telah banyak kehilangan hafalan yang pernah dihafal. Oleh karena itu metode yang paling tepat dalam menghafal adalah dengan menggabungkan antara murajaah (mengulang) dan menambah hafalan baru. Bagilah isi Al-Qur`an menjadi tiga bagian,yang mana satu bagian berisi 10 juz. Jika dalam sehari kamu telah menghafal satu halaman maka ulangilah dalam sehari empat halaman yang telah dihafal sebelumnya hingga kamu menyelesaikan 10 juz. Jika kamu telah berhasil menyelesaikan 10 juz maka berhentilah menghafal selama satu bulan penuh dan isi dengan mengulang apa yang telah dihafal, dengan cara setiap hari kamu mengulangi (meraja’ah) sebanyak 8 halaman.
Setelah selesai satu bulan kamu mengulangi hafalan, sekarang mulailah kembali dengan menghafal hafalan baru sebanyak satu atau dua lembar tergantung kemampuan, sambil kamu mengulangi setiap harinya 8 halaman hingga kamu bisa menyelesaikan hafalan 20 juz. Jika kamu telah menghafal 20 juz maka berhentilah menghafal selama 2 bulan untuk mengulangi hafalan 20 juz, dimana setiap hari kamu harus mengulang (meraja’ah) sebanyak 8 halaman. Jika sudah mengulang selama dua bulan, maka mulailah kembali dengan menghafal hafalan baru sebanyak satu atau dua lembar tergantung kemampuan, sambil kamu mengulangi setiap harinya 8 halaman hingga kamu bisa menyelesaikan seluruh Al-Qur’an.
Jika anda telah selesai menghafal semua isi Al-Qur`an, maka ulangilah 10 juz pertama secara tersendiri selama satu bulan, dimana setiap harinya kamu mengulang setengah juz. Kemudian pindahlah ke 10 juz berikutnya, juga diulang setengah juz ditambah 8 halaman dari sepuluh juz pertama setiap harinya. Kemudian pindahlah untuk mengulang 10 juz terakhir dari Al-Qur`an selama sebulan, dimana setiap harinya mengulang setengah juz ditambah 8 halaman dari 10 juz pertama dan 8 halaman dari 10 juz kedua.

BAGAIMANA CARA MERAJA’AH AL-QURAN (30 JUZ) SETELAH AKU MENYELESAIKAN METODE MURAJA’AH DI ATAS?
Mulailah mengulangi Al-Qur’an secara keseluruhan dengan cara setiap harinya mengulang 2 juz, dengan mengulanginya 3 kali dalam sehari. Dengan demikian maka kamu akan bisa mengkhatamkan Al-Qur’an sekali setiap dua minggu.
Dengan metode seperti ini maka dalam jangka satu tahun (insya Allah) kamu telah mutqin (kokoh) dalam menghafal Al-Qur’an, dan lakukanlah cara ini selama satu tahun penuh.

APA YANG AKU LAKUKAN SETELAH MENGHAFAL AL-QUR’AN SELAMA SATU TAHUN?
Setelah menguasai hafalan dan mengulangInya dengan itqan (mantap) selama satu tahun, hendaknya bacaan Al-Qur’an yang kamu baca setiap hari hingga akhir hayatmu adalah bacaan yang dilakukan oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam- semasa hidup beliau. Beliau membagi isi Al-Qur`an menjadi tujuh bagian (dimana setiap harinya beliau membaca satu bagian tersebut), sehingga beliau mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam sepekan.
Aus bin Huzaifah -rahimahullah- berkata: Aku bertanya kepada para sahabat Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, “Bagaimana caranya kalian membagi Al-Qur`an untuk dibaca setiap hari?” Mereka menjawab:
نُحَزِّبُهُ ثَلَاثَ سُوَرٍ وَخَمْسَ سُوَرٍ وَسَبْعَ سُوَرٍ وَتِسْعَ سُوَرٍ وَإِحْدَى عَشْرَةَ سُورَةً وَثَلَاثَ عَشْرَةَ سُورَةً وَحِزْبَ الْمُفَصَّلِ مِنْ قَافْ حَتَّى يُخْتَمَ
“Kami membaginya menjadi (tujuh bagian yakni): Tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan hizb al-mufashshal yaitu dari surat Qaf sampai akhir (mushaf).” (HR. Ahmad no. 15578).
Maksudnya:
-Hari pertama: Mereka membaca surat “al-fatihah” hingga akhir surat “an-nisa`”.
-Hari kedua: Dari surat “al-maidah” hingga akhir surat “at-taubah”.
-Hari ketiga: Dari surat “Yunus” hingga akhir surat “an-nahl”.
-Hari keempat: Dari surat “al-isra” hingga akhir surat “al-furqan”.
-Hari kelima: Dari surat “asy-syu’ara” hingga akhir surat “Yasin”.
-Hari keenam: Dari surat “ash-shaffat” hingga akhir surat “al-hujurat”.
-Hari ketujuh: Dari surat “qaaf” hingga akhir surat “an-nas”.
Para ulama menyingkat bacaan Al-Qur`an Nabi -shallallahu alaihi wasallam- ini menjadi kata: ”فَمِي بِشَوْقٍ“. Setiap huruf yang tersebut menjadi simbol dari awal surat yang dibaca oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pada setiap harinya. Maka:
- Huruf “fa`” adalah simbol dari surat “al-fatihah”. Maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari pertama dimulai dari surah al-fatihah.
- Huruf “mim” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari kedua dimulai dari surah al-maidah.
- Huruf “ya`” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari ketiga dimulai dari surah Yunus.
- Huruf ”ba`” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari keempat dimulai dari surah Bani Israil yang juga dinamakan surah al-isra`.
- Huruf “syin” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari kelima dimulai dari surah asy-syu’ara`.
- Huruf “waw” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari keenam dimulai dari surah wash shaffat.
- Huruf “qaaf” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari ketujuh dimulai dari surah qaf hingga akhir muashaf yaitu surah an-nas.
Adapun pembagian hizib yang ada pada Al-Qur an sekarang, maka itu tidak lain adalah buatan Hajjaj bin Yusuf.

BAGAIMANA CARA MEMBEDAKAN ANTARA BACAAN YANG MUTASYABIH (AYAT YANG MIRIP) DALAM AL-QUR’AN?
Cara terbaik untuk membedakan antara dua ayat yang kelihatannya menurut kamu hampir sama (mutasyabih), adalah dengan cara membuka mushaf dan carilah kedua ayat tersebut. Lalu carilah perbedaan antara kedua ayat tersebut, cermatilah perbedaan tersebut, kemudian buatlah tanda/catatan (di dalam hatimu) yang bisa kamu jadikan sebagai tanda untuk membedakan antara keduanya. Kemudian, ketika kamu melakukan murajaah hafalan, maka perhatikanlah perbedaan tersebut secara berulang-ulang sampai kamu mutqin dalam mengingat perbedaan antara keduanya.

BEBERAPA KAIDAH DAN KETENTUAN DALAM MENGHAFAL AL-QUR`AN:
1- Kamu harus menghafal melalui bantuan seorang guru yang bisa membenarkan bacaanmu jika salah.
2- Hafalkanlah 2 halaman setiap hari: 1 halaman setelah subuh dan 1 halaman setelah ashar atau maghrib. Dengan metode seperti ini (insya Allah) kamu akan bisa menghafal Al-Qur`an secara mutqin dalam kurun waktu satu tahun. Tetapi jika kamu memperbanyak kapasitas hafalan setiap harinya maka kemampuan menghafalmu akan melemah.
3- Menghafallah mulai dari surat an-nas hingga surat al-baqarah karena hal itu lebih mudah. Tapi setelah kamu menghafal Al-Qur`an maka urutan meraja’ahmu dimulai dari Al-Baqarah sampai An-Nas.
4- Dalam menghafal hendaknya menggunakan satu mushaf saja (baik dalam cetakan maupun bentuknya), karena hal itu sangat membantu dalam menguatkan hafalan dan agar lebih cepat mengingat letak-letak ayatnya, ayat apa yang ada di akhir halaman ini dan ayat apa yang ada di awal halaman sebelahnya.
5- Setiap orang yang menghafal Al-Qur’an pada 2 tahun pertama biasanya apa yang telah dia hafal masih mudah hilang, dan masa ini disebut fase at-tajmi’ (pengumpulan hafalan). Karenanya janganlah kamu bersedih karena ada sebagian hafalanmu yang kamu lupa atau kamu banyak keliru dalam hafalan. Ini adalah fase yang sulit sebagai ujian bagimu, dan ini adalah fase rentan yang bisa menjadi pintu masuknya setan untuk menghentikan kamu dari menghafal Al-Qur`an. Tolaklah was-was tersebut dari dalam hatimu dan teruslah menghafal, karena dia (menghafal Al-Qur`an) merupakan perbendaharaan harta yang tidak diberikan kepada sembarang orang.

[Oleh: Asy-Syaikh Dr. Abdul Muhsin Muhammad Al-Qasim, imam dan khathib di Masjid Nabawi]