Rabu, 28 September 2011

Bolehkah Makmum Baca Salawat saat Khotbah Jumat?

menggabungkan-puasa
Pertanyaan:
Bolehkah jemaah bersalawat kepada Nabi ketika khatib menyebutkan nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat khotbahnya?

Zakkiy (**zakkiy@***.com)

Penjelasan singkat seputar salawat di antara dua khotbah:

Bismillah ….
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum membaca salawat bagi makmum ketika mendengarkan khotbah, pada saat khatib menyebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat pertama, diperbolehkan membaca salawat dengan pelan. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Abu Yusuf, murid senior Abu hanifah. Pendapat ini juga merupakan Mazhab Hanbali, dan yang dikuatkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Dalil pendapat pertama adalah:
  1. Bahwa bersalawat ketika khatib berkhotbah, tidaklah mengganggu konsentrasi mendengarkan khotbah. Dengan demikian, ketika membaca salawat, seseorang mendapatkan dua keutamaan: pahala mendengarkan khotbah dan pahala membaca salawat.
  2. Kita disyariatkan untuk memperbanyak salawat di hari Jumat, lebih-lebih ketika disebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat kedua, makmum tidak boleh membaca salawat, dan wajib diam mendengarkan khotbah. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafiyah.
Dalil pendapat ini adalah:
  1. Makmum dilarang berbicara ketika mendengarkan khotbah, sebagaimana mereka dilarang berbicara ketika shalat.
  2. Membaca salawat bisa dilakukan di berbagai kesempatan lainnya. Karena itu, tidak perlu mengganggu waktu mendengarkan khotbah.

Tarjih (pemilihan pendapat yang lebih kuat masalah salawat di antara 2 khotbah):

Pendapat yang tampak lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat pertama, yang memperbolehkan membaca salawat dengan pelan dan tanpa dikeraskan, di tengah mendengarkan khotbah. Dengan melakukan ini, orang melaksanakan dua perintah sekaligus: perintah membaca salawat ketika nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut, dan perintah agar berkonsentrasi dalam mendengarkan khotbah. (Disarikan dari Khutbatul Jumu’ah wa Ahkamuha Fiqhiyah, hlm. 228–229)
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Tata Cara Puasa Syawal

Tata Cara Puasa Syawal
Pertanyaan:
Ustadz, apakah puasa Syawal harus dilakukan berturut-turut enam hari atau boleh terputus-putus asalkan masih tetap di bulan Syawal? Jazakallahu khairan.

Jawaban:
Ulama berselisih pendapat tentang tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.
Pendapat pertama, dianjurkan untuk menjalankan puasa Syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarak. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya lemah.
Pendapat kedua, tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
Pendapat ketiga, tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah Idul Fitri karena itu adalah hari makan dan minum. Namun, sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar, Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. Kata Ibnu Rajab, “Ini adalah pendapat yang aneh.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 384–385)
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bolehnya puasa Syawal tanpa berurutan. Keutamaannya sama dengan puasa Syawal secara terpisah. Syekh Abdul Aziz bin Baz ditanya tentang puasa Syawal, apakah harus berurutan?
Beliau menjelaskan, “Puasa 6 hari di bulan Syawal adalah sunah yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh dikerjakan secara berurutan atau terpisah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keterangan secara umum terkait pelaksanaan puasa Syawal, dan beliau tidak menjelaskan apakah berurutan ataukah terpisah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal ….‘ (Hadis riwayat Muslim, dalam Shahih-nya)
Wa billahit taufiiq ….” (Majmu’ Fatwa wa Maqalat Ibni Baz, jilid 15, hlm. 391)
Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Shalat Jemaah dalam Keadaan Tidak Berwudhu

shalat-jemaah-dalam-keadaan-tidak-berwudhu
Ada seseorang yang mendapat shalat berjemaah namun dia dalam kondisi tidak berwudhu. Ia khawatir jika ia berwudhu, ia akan luput dari shalat jemaah. Bagaimana yang semestinya ia lakukan?

Jawaban singkat perihal shalat tanpa berwudhu:

Perlu diketahui bahwa wudhu adalah syarat sah shalat, karena Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, juga sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Q.S. Al-Maidah:6)
Juga terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأُ
Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats, sampai ia berwudhu.” (H.R. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Oleh karena itu, wajib bagi setiap orang untuk berada dalam keadaan berwudhu setiap kali hendak shalat, walaupun akhirnya ia tidak mendapati shalat jemaah saat itu. Lain waktu, semoga ia bisa menunaikan shalat berjemaah lagi. Jika itu mudah baginya, alhamdulillah. Jika tidak, maka hendaklah ia shalat sendirian, karena Allah ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Bertakwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian.” (Q.S. At-Taghabun:16)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Jika kalian diperintah untuk melakukan sesuatu maka lakukanlah semampu kalian.” (H.R. Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Sebagai catatan pula, seseorang yang berada dalam kondisi semacam itu tidak boleh–dengan beralasan untuk mendapatkan shalat berjemaah–mengganti wudhunya dengan . Sekadar ingin mendapatkan shalat jemaah bukanlah alasan untuk berpindah dari dengan menjadi bertayamum dengan debu.
Wa billahit taufiq. Salawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Yang menandatangani fatwa ini: Syekh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz selaku Ketua, Syekh Abdurrazaq Afifi selaku Wakil Ketua, Syekh Abdullah bin Qu’ud selaku Anggota. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ke-4, no. 1752, 6:188–189.
Panggang, Gunung Kidul, 2 Rabi’ul Awwal 1432 H (03/02/2011 M)
Dipublikasikan ulang oleh www.KonsultasiSyariah.com, disertai penyuntingan bahasa.
Artikel www.KonsultasiSyariah.com


About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Al-Muhalil

almuhallil
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukum tentang seorang muhallil?

Jawaban:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang muhallil.
قَالَ: لَعَنَ اللهُ اَلْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلِّلَ لَهُ
Beliau menjawab, “Allah Ta’ala melaknat orang yang menghalalkan dan orang yang minta dihalalkan.” (HR. Ibnu Majah)
*)Catatan: Muhallil adalah orang yang menikah untuk sementara, kemudian bercerai. Dengan tujuan agar perempuan yang dia nikahi setelah ditalak tiga oleh suami yang pertama bisa kembali kepada suami pertamanya tersebut.
Sumber: Fatawa Rasulullah: Anda Bertanya Rasulullah Menjawab, Tahqiq dan Ta’liq oleh Syekh Qasim Ar-Rifa’i, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Pustaka As-Sunnah, Cetakan Ke-1, 2008.
(Dengan penataan bahasa oleh www.konsultasisyariah.com)

About the author

KonsultasiSyariah.com adalah situs rujukan untuk Fatwa dan Tanya Jawab seputar Pendidikan Islam dan Keluarga berbahasa Indonesia. KonsultasiSyariah.com diasuh oleh tim ahli syariah. Silakan lihat halaman "Tentang Kami" untuk info selengkapnya.

Istri Menggambil Harta Suami

mengambil harta suami
Pertanyaan:
Suami saya tidak pernah memberi nafkah kepada anak-anak saya. Oleh karena itu, kadang-kadang kami mengambil uangnya tanpa sepengetahuan dia. Apakah dalam hal ini kami berdosa?

Jawaban:
Seorang istri boleh mengambil harta suaminya tanpa sepengetahuan suaminya, sebanyak yang ia butuhkan bersama anak-anaknya yang masih kecil, dengan cara yang baik dan tidak berlebih-lebihan. Dengan syarat suami tersebut tidak memberikan nafkah yang cukup kepadanya. Hal ini berdasarkan sebuah hadits shahih riwayat Aisyah yang menyatakan bahwa Hindun binti ‘Utbah mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
يَا رَسُوْلَ اللهِ إِن أَبَا سُفْيَانَ لاَ يُعْطِيْنِي مَا يُكْفِنِي وَيَكْفِيْ بَنِيَّى … فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالمَعْرُوْفِ مَايَكْفِيْكِ وَيَكْفِي لَنِيْكَ
Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku) tidak memberikan nafkah yang cukup kepadaku dan kepada anak-anakku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Ambillah hartanya dengan cara yang ma’ruf sebanyak yang dibutuhkan olehmu dan anak-anakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala maha penolong menuju kebenaran.
Sumber: Fatawa Syaikh Bin Baaz Jilid 2, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Pustaka at-Tibyan
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

KonsultasiSyariah.com adalah situs rujukan untuk Fatwa dan Tanya Jawab seputar Pendidikan Islam dan Keluarga berbahasa Indonesia. KonsultasiSyariah.com diasuh oleh tim ahli syariah. Silakan lihat halaman "Tentang Kami" untuk info selengkapnya.

Memperbesar Alat Vital

hukum memperbesar alat vital
Assalamu’alaikum….
Ustad, bagaimanakah hukum memperbesar alat vital dalam pandangan islam yang sesungguhnya? Karena kita lihat banyak praktek-praktek tersebut bahkan kebanyakan mengatasnamakan agama yang disebut ilmu hikmah. Selain itu dulu terkenal juga Almarhumah Mak Erot yang berhasil membuat banyak lelaki perkasa dengan alat vital yang besar. Maaf, sebelumnya ustad, pertanyaan saya agak kolot dan agak porno. Ketika ditanya orang saya bingung jawabnya. Setahu saya merubah bentuk yang sudah diciptakan Allah hukumnya haram. Lantas mereka mengatakan hal itu malah berpahala untuk memuaskan si Istri. Bagaimana pandangan ustad? Syukron.
Wa alaikumus salam wa rahmatullah
Deni Harianto (denihariXXXXXX@yahoo.com)

Jawaban:
Dalam Fatawa Islam (islamqa.com), pernah diajukan pertanyaan yang sama. Pembina situs tersebut, Syekh Muhammad bin Shaleh Munajid memberikan jawaban:
Bagi orang yang mengeluhkan alat vitalnya yang kecil, lebih kecil dari ukuran normal umumnya, sehingga mempengaruhi keharmonisan keluarga, dibolehkan untuk menggunakan obat yang bisa membantu memperbesar organ vitalnya. Ini jika mendapat rekomendasi dari dokter ahli terkait dan tidak membahayakan dirinya. Bahkan dibolehkan menggunakan bahan tertentu yang membungkus organ vital, seperti kondom atau semacamnya. Apabila hal ini bisa meningkatkan kepuasan bagi istrinya. Karena setiap suami dituntut untuk memberikan pergaulan terbaik bagi istrinya dan memenuhi kebutuhan istri dalam berhubungan.
Akan tetapi, jika tujuan memperbesar alat tersebut hanya sebatas untuk lebih bisa menikmati organ vital ini, kami ingatkan agar penanya tidak melakukannya. Karena bisa jadi ini menjadi salah satu celah setan untuk menjerumuskan manusia kepada perbuatan yang haram.
Disadur dari dua fatwa, dengan alamat link satu dan dua
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

KonsultasiSyariah.com adalah situs rujukan untuk Fatwa dan Tanya Jawab seputar Pendidikan Islam dan Keluarga berbahasa Indonesia. KonsultasiSyariah.com diasuh oleh tim ahli syariah. Silakan lihat halaman "Tentang Kami" untuk info selengkapnya.

Hukum menggabung niat puasa syawal dengan qadha puasa

Menggabung Niat Puasa Syawal dengan Puasa Qadha


Assalamu ‘alaikum. Ustadz, apakah boleh puasa dalam sehari, niatnya untuk puasa Syawal dan qadha puasa? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum.
Umie (umie**@yahoo.***)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam.
*

Menggabung niat qadha puasa dengan puasa syawal (Disadur dari Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih. No. fatwa: 12728)

Pertanyaan:
Bolehkah melakukan puasa Syawal, sekaligus dengan niat meng-qadha puasa yang pernah ditinggalkan di bulan Ramadan? Bagaimana cara yang tepat?
Jawaban:
Alhamdulillah, washshalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du …
Tidak boleh melakukan puasa 6 hari di bulan Syawal dengan niat ganda, untuk puasa sunah dan meng-qadha puasa Ramadan yang pernah ditinggalkan, karena meninggalkan puasa ketika Ramadan, baik karena alasan yang dibenarkan maupun tanpa alasan, itu wajib untuk di-qadha’, berdasarkan firman Allah,
فمن كان منكم مريضاً أو على سفر فعدة من أيام أخر
Siapa saja di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (kemudian dia berbuka) maka dia (mengganti) sebanyak hari puasa yang ditinggalkan di hari yang lain.” (Qs. Al-Baqarah:184)
Sementara, puasa 6 hari Syawal itu hukumnya sunah, berdasarkan hadis dari Abu Ayyub Al-Anshari; beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال فذلك كصيام الدهر
Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti (puasa) enam hari bulan Syawal, maka itu seperti puasa setahun.” (Hr. Muslim)
Oleh karena itu, hendaknya orang yang memiliki utang puasa tersebut meng-qadha utang puasa Ramadan kemudian melaksanakan puasa sunah 6 hari bulan Syawal.
Puasa Syawal harus dilakukan secara khusus, demikian pula qadha puasa juga harus dilakukan secara khusus. Dalam keadaan semacam ini, tidak memungkinkan untuk digabungkan niatnya, tidak sebagaimana ibadah yang lain, seperti mandi junub dan mandi Jumat.
Allahu a’lam.
*
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Gambar Makhluk Bernyawa

  1. Ustadz, yang ingin saya tanyakan adalah larangan menggambar makhluk bernyawa itu apakah mutlak tidak boleh? Ataukah boleh namun diperlakukan hina?
  2. Bagaimanakah dengan kaus yang bergambar makhluk hidup (apakah boleh dipakai) atau harus diapakan?
  3. Dan apakah foto manusia atau makhluk hidup yang asli (bukan lukisan tangan seseorang) termasuk yang dilarang? Bagaimana jika tidak dipajang, namun hanya disimpan di laptop?
  4. Adakah ikhtilaf dalam masalah ini?
Syukron, Ustadz, atas jawabnnya.
Angling (angli**@***.com)

Jawaban:
  1. Bedakan antara menggambar dan memanfaatkan benda yang bergambar. Kalau menggambar, itu mutlak haram, bahkan dosa besar. Boleh memanfaatkan benda yang bergambar asalkan dihinakan, semisal sebagai keset sandal.
  2. Baju kaus yang bergambar makhluk hidup boleh dipakai asalkan gambar kepala ditutupi dengan cat atau semisalnya.
  3. Terkait dengan hukum foto manusia, tergantung objek foto dan tujuan memfoto. Objek foto berupa wanita, itu termasuk haram. Jika disimpan di laptop, sebaiknya objek foto tersebut dihapus saja.
  4. Ada ikhtilaf (silang pendapat) ulama dalam masalah memfoto.
Dijawab oleh Ustadz Aris Munandar, M.A. (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Aris Munandar,M.A. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Hamalatul Qur'an Yogyakarta dan dewan pembina milis syariah Komunitas Pengusaha Muslim PM-Fatwa, website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com , dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid Yogyakarta.

Doa Khatam Quran

 

doa-khatam-quran

Adakah doa Khatam Quran?

Assalamu ‘alaykum. Ustadz, saya mau tanya. Adakah seperti yang ada di mushaf-mushaf Alquran? Jika seseorang sudah menamatkan quran, haruskah membaca doa khatam Quran? Itu saja yang saya mau tanya. Syukran. Wassalamu ‘alaykum.
Rosszelly (ross**@***.com)

Jawaban:
Bismillah ….
Tidak terdapat satu pun dalil dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan doa khatam Quran. Demikian pula, tidak diriwayatkan dari para sahabat maupun para ulama besar setelahnya yang mengajarkan doa khatam Quran. Yang paling terkenal, doa khatam Quran yang tertulis di akhir mushaf ini dinisbahkan (dianggap sebagai perkataan) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Anggapan ini tidak memiliki dasar. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, 14:226)
Tentang membaca doa setelah selesai membaca Alquran, ada kemungkinan dilakukan ketika shalat atau di luar shalat. Membaca doa setelah khatam Alquran ketika shalat, sama sekali tidak ada dasarnya. Sementara itu, diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa beliau membaca doa –setelah mengkhatamkan Alquran– di luar shalat. Hanya saja, doanya tidak sebagaimana doa khatam Quran yang umumnya dikenal masyarakat.
Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang hukum membaca doa khatam Quran ketika shalat malam di bulan Ramadan. Beliau menjawab, “Saya tidak mengetahui adanya hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan membaca doa khatam Quran ketika shalat malam di bulan Ramadan, tidak pula riwayat dari sahabat. Riwayat yang ada hanyalah riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa apabila beliau mengkhatamkan Alquran, beliau mengumpulkan keluarganya dan berdoa; ini dilakukan di luar shalat.” (Fatwa Arkan Al-Islam, hlm. 354)

Syekh Bakr Abu Zaid memiliki pembahasan yang sangat bagus dalam masalah doa khatam Quran. Kesimpulan yang beliau sampaikan, “Dari semua keterangan pada pembahasan dalam dua bab sebelumnya, kita mendapatkan dua kesimpulan:

Pertama, doa khatam Quran itu secara mutlak (tidak menggunakan redaksi khusus). Dalam hal ini, ada beberapa poin penting :
  1. Semua riwayat tentang doa khatam Quran yang dianggap berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang tidak sahih, baik statusnya palsu atau dhaif yang tidak bisa terangkat. Bahkan, bisa dipastikan, tidak ada dalil yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang doa khatam Quran karena para ulama yang menulis tentang ilmu Alquran dan zikir-zikirnya (seperti: Imam An-Nawawi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, dan As-Suyuthi) tidak ada satu pun yang menyebutkan teks doa khatam Quran. Andaikan mereka memiliki satu riwayat yang sahih tentang masalah ini, tentu mereka akan menyebutkannya.
  2. Terdapat riwayat yang sahih dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berdoa setelah mengkhatamkan Alquran. Beliau mengumpulkan istri dan anak-anaknya kemudian beliau berdoa. Perbuatan beliau ini diikuti oleh sebagian tabi’in, semacam Mujahid bin Jabr, sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat.
  3. Tidak diketahui adanya keterangan tentang disyariatkannya doa setelah dalam kitab-kitab Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i rahimahumallah. Bahkan, diriwayatkan dari Imam Malik, ‘Doa khatam Alquran bukanlah termasuk amal masyarakat (penduduk Madinah). Mengkhatamkan Alquran bukanlah termasuk sunah dalam shalat malam Ramadan.’
  4. Anjuran membaca doa setelah khatam Alquran merupakan salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad, sebagaimana keterangan dari beberapa ulama Hanbali. Pendapat ini juga diakui oleh beberapa ulama kontemporer dari tiga mazhab lainnya.
Kedua, doa khatam Quran dalam shalat.”
… Bagian ini tidak kami cantumkan pembahasannya karena telah ditegaskan bahwa hal ini tidak ada riwayatnya sama sekali.
Demikian, ringkasan dari situs www.islamqa.com di bawah bimbingan Syekh Muhammad Munajid.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Pernikahan Siri di masa iddah

biaya pernikahan

Assalamu ‘alaikum.Para Ustadz yang dimuliakan Allah. Pertanyaan saya, apa hukumnya seorang wanita melakukan pernikahan siri di saat masa iddahnya belum berakhir? Demikianlah pertanyaan saya. Terima kasih.

Suryo Martono (soeryo**@***.com)

Jawaban hukum di masa iddah:

Wa’alaikumussalam warahmatullah.
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah (www.islamweb.net), di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih, dijelaskan, “Tidak diperbolehkan bagi seorang lelaki untuk melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang menjalani masa iddah setelah pisah dengan suaminya, baik (iddah, ed.) karena dicerai atau karena ditinggal mati suaminya. Ulama sepakat bahwa nikahnya batal dan wajib untuk segera dipisahkan.
Ibnu Qudamah mengatakan, ‘Apabila ada orang yang menikahi wanita yang sedang menjalani masa iddah, sementara mereka tahu bahwa saat itu (si wanita, ed.) sedang menjalani masa iddah, dan mereka paham bahwa menikah ketika masa iddah adalah haram, maka kedua orang ini dihukumi sebagai orang yang berzina. Dia berhak mendapatkan hukuman zina dan si wanita tidak berhak atas mahar yang diberikan ….’ (Al-Mughni, 9:127)”
Disadur dari Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 152245.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
= Kesimpulan hukum pernikahan siri di masa iddah adalah haram


About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Merasa keluar Kentut waktu shalat

Kentut Kecil ketika Shalat
Sahkah shalat, apabila kita merasakan ada sesuatu di dubur, kita berpikir itu kentut yang kecil namun kita tidak yakin, dan cuma terasa saat shalat?

Asraf (asyraf**@***.com)

Jawaban jika ragu keluar kentut atau tidak:

Bismillah ….
Sah, karena itu hanya penyakit was-was yang merupakan gangguan setan. Kalau kita taati, berarti kita telah terperangkap dalam jerat setan, dan ia akan terus mengganggu kita. Namun jika dari awal sudah tidak kita pedulikan, maka gangguan tersebut tidak akan datang lagi, dengan izin Allah. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا، فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Jika salah seorang dari kalian merasakan sesuatu diperutnya, lalu ia ragu apakah telah keluar (angin/kentut) atau tidak, janganlah sekali-kali ia keluar dari masjid, hingga ia mendengar suara atau mencium bau.” (Hr. Muslim, IV:274, no. 803; dari Abu Hurairah.
Dalam redaksi lain, beliau mengingatkan,
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَوَجَدَ حَرَكَةً فِي دُبُرِهِ أَحْدَثَ أَوْ لَمْ يُحْدِثْ فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ فَلَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Jika salah seorang dari kalian sedang shalat lalu merasakan gerakan di duburnya, hingga ia merasa ragu apakah telah batal atau tidak, janganlah ia membatalkan shalatnya hingga mendengar suara atau mencium bau.” (Hr. Abu Daud; dari Abu Hurairah; dinyatakan sahih oleh Syekh Al-Albani)
Sesuatu yang hanya berdasarkan pada perasaan atau keraguan tidak dapat dijadikan pedoman untuk memutuskan bahwa wudhu atau shalat kita itu batal. Namun, harus ada rasa yakin.
Dijawab oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Beliau adalah sarjana S-2, jurusan Aqidah, Universitas Islam Madinah. Kajian-kajian dan kuliah agama yang beliau berikan sebagian besarnya bertemakan aqidah dan fikih dakwah. Saat ini beliau aktif mengajar di pondok pesantren Tunas Ilmu, Purbalingga.

Asuransi Syariah

 

Asuransi Syariah


Assalamu ‘alaikum, Pak Ustadz. Apakah asuransi pendidikan syariah itu sesuai dengan tuntunan Islam, Pak Ustadz? Aku tanya sama kawan, katanya, uang asuransi itu (uang kita) dipakai buat usaha, lalu nanti kalau untung, dikasih ke kita sekian persen. Tapi kalau rugi, uang kita tetap sebanyak itu juga, tapi tidak dikasih persennya. Juga, syariah, apakah itu sudah sesuai dengan hukum Islam? Terima kasih, Pak Ustadz. Assalamu ‘alaikum.
Rafdinal (inal**@***.com)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah.
Transaksi asuransi antara kita dengan bank syariah adalah “titip uang“. Jika nantinya kita butuh, kita akan mengambil uang tersebut. Dari mana kita bisa mendapatkan “bagi-keuntungan”, sementara kita sama sekali tidak menanggung kerugian jika ternyata usaha yang menggunakan modal uang kita itu gagal? Bukankah ini sama dengan riba?
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Menggabungkan puasa syawal dengan puasa senin kamis

menggabungkan-puasa
Assalamulaikum, Bolehkah menggabungkan niat puasa syawal dengan puasa senin-kamis ?
Terima kasih
Scien (gukXXXXXX@gmail.com)

Jawaban menggabungkan puasa syawal dengan puasa senin kamis:

Wa alaikumus salam wa rahmatullah
Disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنما الأعمال بالنيات
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat”
Jika seorang muslim niat puasa 6 hari bulan syawal, dan dia lakukan bertepatan dengan hari senin, kamis, atau ketika ayamul bidh (tanggal 13, 14, dan 15 bulan hijriyah) maka dia mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang dia niatkan. Karena niat dalam amal semacam ini bisa digabungkan.
Adapun puasa qadha ramadhan maka hanya boleh dilakukan dengan satu niat, yaitu niat puasa qadha. Karena puasa qadha adalah pengganti puasa yang seharusnya dilakukan di bulan Ramadhan. Sebagaimana seseorang tidak boleh menggabungkan niat puasa ramadahan dengan niat puasa lainnya, demikian pula dia tidak boleh puasa qadha ramdhan bersamaan dengan niat puasa yang lain.
Sedangkan puasa sunah, kemudian digabungkan dengan niat untuk melakukan puasa yang lainnya karena puasa semacam ini memungkinkan untuk digabungkan niatnya. Sebagian ulama menyebutnya “At-Tasyrik fin Niyah” (menggabungkan niat).
Ibn Rajab mengatakan, “Jika ada orang yang menggabungkan niat wudhu dengan niat untuk mendinginkan anggota badan atau niat untuk menghilangkan najis atau kotoran yang menempel di badan maka wudhunya sah menurut keterangan Imam As-Syafi’i. Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama madzhab hambali. Karena tujuan semacam ini tidaklah haram, tidak pula makruh. Oleh karena itu, jika ada orang yang berwudhu dengan niat menghilangkan hadats dan sekaligus mengajarkan tata cara wudhu maka niatnya tidak membatalkan wudhunya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat, sekaligus dengan niat mengajarkannya kepada para sahabat. Demikian pula ketika beliau berhaji, sebagaimana yang pernah beliau sabdakan,
خذوا عنِّي مناسِكَكُم
“Ambillah dariku cara pelaksanaan haji kalian”
Allahu a’lam.
*  Fatwa Syaikh Abdurrahman As-Suhaim
Beliau adalah anggota Lembaga Dakwah dan Bimbingan Masyarakat di Riyadl. Beliau pernah berguru kepada Syaikh Ibn Utsaimin, Syaikh Abdullah Al-Jibrin, Dr. Abdul Karim Al-Hudhair, Dr. Nashir Al-Aql, dan beberapa jajaran ulama ahlus sunnah lainnya. Saat ini beliau aktif membina berbagai forum ilmiyah di internet, seperti saaid.net atau almeshkat.net.
Sumber: http://al-ershaad.com/vb4/showthread.php?t=1409
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariahcom

About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Utang Emas

utang emas
Ustadz, saya mau tanya. Dulu, waktu istri saya masih kecil, ibunya meminjam kalung emas dari temannya untuk dijual, dalam rangka membiayai kuliah kakak-istri saya. Setelah berlalu beberapa belas tahun, ibu mertua saya baru bisa melunasi utangnya dengan kredit, seharga total 4 jutaan (seharga emas dulu ketika meminjam). Tapi beberapa hari kemarin, teman ibu mertua datang lagi ke rumah dan mengatakan secara kekeluargaan langsung kepada anak-anaknya (termasuk istri saya) bahwa dulu ‘kan bukan uang yang dipinjam tapi emas, dia pengennya kembali juga sebagai kalung yang serupa (gram ataupun mata)-nya, sedangkan dengan uang harga tadi (4 jutaan) di hari ini kalau dibelikan kalung yang serupa tidaklah cukup. Bagaimana solusinya, Ustadz? Apakah kalung diganti dengan kalung yang serupa ataukah cukup uang 4 juta yang dibayarkan ibu mertua saya? Jazakallahu khairan, Ustadz.
Abu Muhammad (abi**@***.com)

Jawaban:
Kaidah dalam masalah ini:
Utang emas wajib dibayar dengan emas.
Utang uang wajib dibayar dengan uang.
***

Catatan redaksi perihal utang

Menghutangi orang lain adalah murni transaksi sosial. Karena itu, orang yang menghutangi orang lain tidak diperkenankan mengambil tambahan sedikitpun. Bahkan dia harus rela dan siap dengan konsekwensi terjadinya penurunan mata uang.. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan banyak janji pahala kepada orang yang sanggup menghutangi orang lain dan bersedia untuk tidak mengejar-ngejar orang yang berhutang.
Diantara dalil yang menunjukkan keutamaan bersikap mudah dalam menghutangi orang lain adalah:
Pertama, Hadis dari Ibn Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كل قرض صدقة
“Setiap menghutangi orang lain adalah sedekah.” (HR. Thabrani dengan sanad hasan, al-Baihaqi, dan dishahihkan al-Albani)
Kedua, Dari Abu Umamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada seseorang yang masuk surga, kemudian dia melihat ada tulisan di pintunya,
الصدقة بعشر أمثالها والقرض بثمانية عشر
“Sedekah itu nilainya sepuluh kalinya dan hutang nilainya 18 kali.” (HR. Thabrani, al-Baiihaqi dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Targhib)
Ketiga, Dari Ibn Mas’ud, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان كصدقتها مرة
“Tidaklah seorang muslim memberi utangan kepada muslim yang lain sebanyak dua kali, kecuali nilainya seperti bersedekah sekali.” (Hr. Ibn Majah, Ibn Hiban dalam shahihnya dan al-Baihaqi.)
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Aris Munandar, M.A.
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Aris Munandar,M.A. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Hamalatul Qur'an Yogyakarta dan dewan pembina milis syariah Komunitas Pengusaha Muslim PM-Fatwa, website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com , dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid Yogyakarta.

Menguburkan bagian tubuh

menguburkan-bagian-tubuh
Bismillah…Adakah dalil yang mensyari’atkan menguburkan bagian tubuh dari orang yang masih hidup misal potongan rambut (cukuran), potongan kuku?
Bagaimana pula halnya dengan bagian tubuh yang tertinggal tidak dikuburkan bersama orang yang telah meninggal (dan telah dikubur) misal bagian tubuh yang dioperasi yang dipotong? Atas respon kami ucapkan terima kasih, jazaakumullah khayran wabarakallahu fiikum
Nasrul Hamid (nasrXXXXXXX@gmail.com)

Jawaban  dari pertanyaan menguburkan bagian tubuh:

Bismillah…
Terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Syuabul Iman, dari Abdul Jabbar bin Wail dari bapaknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur rambut dan kuku. (Syu’abul Iman, no. 6488). Setelah membawakan hadis ini, Al-Baihaqi memberikan komentar, “Sanad hadis ini dhaif. Hadis yang semisal disebutkan dalam beberapa riwayat dan semuanya dhaif.’ Hadis ini juga di-dhaif-kan Syaikh al-Albani dalam Nashbur Rayah (1: 189).
Karena itu, tidak ada kewajiban untuk menguburnya. Hanya saja, jika ada orang yang mengubur kuku atau rambut setelah dipotong maka ini termasuk perbuatan baik.
Imam Ahmad pernah mengatakan, “Boleh mengubur rambut dan kuku. Namun jika tidak dilakukan, kami berpendapat, tidak mengapa.” Keterangan beliau ini diriwayatkan oleh al-Khallal dalam At-tarajjul, hal. 19.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum mengubur kuku dan rambut setelah dipotong. Beliau menjawab,
“Sebagian ulama menjelaskan bahwa mengubur kuku dan rambut itu lebih baik. Dan terdapat keterangan dari perbuatan sebagian sahabat tentang ini. Sementara (anggapan) bahwa membiarkannya di luar atau membuangnya ke tempat tertentu termasuk perbuatan dosa, maka ini adalah anggapan yang tidak benar.” (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 11/ pertanyaan no. 60)
Adapun untuk bagian tubuh yang dioperasi dan dipotong telah di kami jawab di: http://yufid.tv/bagaimana-memperlakukan-bagian-tubuh-yang-terpotong/
Disadur dari : http://www.islamqa.com/ar/ref/97740
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Imam mengucapkan amin

Imam Mengucapkan Amin Waktu Shalat


Apakah imam shalat berjamaah ikut mengucapkan amin setelah membaca surat Al-Fatihah ? Barokallahu fiik
Akhino (AkhiXXXXXX@yahoo.com)

Jawaban apakah imam membaca amin:

Bismillah
Imam juga disyariatkan untuk mengucapkan amin ketika shalat. Sebagaimana disebutkan dalam hadis,
إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Apabila imam (sudah saatnya) mengucapkan ‘amin’ maka ucapkanlah ‘amin’. Karena siapa yang ucapan amin-nya bertepatan dengan ucapan amin-nya malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibn Syihab mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « آمِينَ
“Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca amin.” (Shahih Muslim no. 942).
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Penasehat Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
***


About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Orang Tua Menginginkan Putrinya di Rumah

Saya seorang istri, tinggal bersama suami dan empat anak. Belakangan ini, orang tua saya yang sudah lanjut usia menginginkan saya pulang untuk menemani mereka di kampung. Sementara suami tidak berkenan. Siapa yang harus saya utamakan?

Jawaban:
Kehidupan rumah tanggal yang bahagia dapat terwujud dengan saling memberikan dan menunaikan hak-hak masing-masing anggota keluarga. Sang istri memiliki hak yang wajib ditunaikan sang suami, demikian juga sebaliknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dan menegaskan kewajiban wanita dalam menunaikan hak suami dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
”Seandainya aku akan memerintahkan seorang untuk bersujud kepada selain Allah, tentulah aku perintahkan wanita bersujud kepada suaminya. Demi (Allah) Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidaklah seorang wanita menunaikan hak Rabb-nya sampai dia telah menunaikan hak suaminya. Walaupun suaminya meminta dirinya (berhubungan suami istri) di atas pelana onta, ia tidak boleh menolaknya.” (HR. Ibnu Majah dalam kitab as-Sunan No. 1843. Lihat ash-Shahihah No. 1203)
Syaikh al-Albani dalam Adabuz Zifaf menjelaskan tentang hadits ini dengan menyatakan, ‘Pengertiannya adalah anjuran kepada kaum wanita untuk menaati suaminya, ia tidak boleh menolak (ajakan suami) dalam keadaan seperti itu, lalu bagaimana dalam kondisi yang lainnya? (Tentu ia lebih patut menaati suami).’
Ketika menjelaskan hadits di atas, penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan, ‘Demikian itu dikarenakan banyaknya hak suami yang wajib dipenuhi oleh istri dan tidak mampunya istri untuk membalas kebaikan suaminya. Dalam hadits ini terdapat ungkapan hiperbolis menunjukkan wajibnya istri untuk menunaikan hak suaminya karena tidak diperbolehkan bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.’
Berdasarkan hadits di atas, maka seorang istri berkewajiban mendahulukan hak suami daripada oarng tuanya, jika tidak mungkin untuk menyelaraskan (menyatukan) dua hal ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ‘Seorang perempuan jika telah menikah, maka suami lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan kedua orang tuanya dan menaati suami itu lebih wajib dari pada taat orang tua.’ (Majmu’ Fatawa, 32/261)
Di halaman yang lain, beliau mengatakan, ‘Seorang istri tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan izin suami meski diperintahkan oleh bapak atau ibunya, apalagi orang selain mereka berdua. Hukum ini adalah suatu yang telah disepakati oleh para imam. Jika suami ingin berpindah tempat tinggal dari tempat semula dan dia adalah seorang suami yang memenuhi tanggung-jawabnya sebagai seorang suami serta menunaikan hak-hak istrinya, lalu orang tua istri melarang anaknya untuk pergi bersama suami padahal suami memerintahkannya untuk turut pindah, maka kewajiban istri adalah menaati suami, bukan menaati orang tuanya. Orang tua dalam hal ini dalam kondisi zhalim. Orang tua tidak boleh melarang anak perempuannya untuk menaati suami dalam masalah-masalah semacam ini’ (Majmu Fatawa: 32/263)
Mencermati pertanyaan Saudari dalam hal ini, maka perintah dan ketaatan kepada suami lebih didahulukan dari permintaan orang tua. Namun, permasalahan kepentingan orang tua yang sudah lanjut usia dengan kepentingan suami yang berharap Saudari berada di sampingnya merupakan perkara yang mungkin dikompromikan dan tidak harus dipertentangkan. Coba mengadakan komunikasi dengan suami dan orang tua untuk mencari solusinya.
Titik komprominya bisa dilihat kepada teladan yang ada, di antara contohnya:
1. Bila orang tua tidak memiliki anak kecuali Saudari sehingga bila saudari tidak mengurusnya maka orang tua tersebut terlantar, maka diminta orang tua tinggal di rumah suami, dengna persetujuan suami tentunya.
2. Bila orang tuanya memiliki anak selain Saudari, bisa memintanya merawat dan mengurus orang tua dengan cara Saudari dan suami menanggung biaya kebutuhan hidupnya (saudara yang menangani orang tua), Atau solusi-solusi lainnya sesuai dengan kondisi dan keadaan dengan memperhatikan kemaslahatan bagi banyak pihak.
Perlu diketahui juga oleh sang suami bahwa kebahagiaan rumah tangganya sangat tergantung juga dengan kebahagiaan sang istri. Membantu mertua merupakan salah satu upaya membahagiakan istri yang akan berdampak positif terhadap keutuhan dan kebahagiaan rumah tangganya. Apalagi sejak pertama, akad pernikahan sudah mengikat dua keluarga besar dalam ikatan keluarga dan persaudaraan. Berbuat baik kepada mertua dan sikap sedikit banyak mengalah untuk kepentingannya yang bersifat baik dan positif merupakan satu amalan shalih yang bisa menjadi sebab kemudahan rezeki dan hidup bagi kita. Hal ini dapat ditinjau dari sisi mertua sebagai seorang Muslim dan membahagiakan seorang Muslim menurut syariat adalah termasuk ibadah dan amal shalih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Termasuk amalan paling utama, menciptakan kegembiraan bagi seorang Muslim: dengan cara membayarkan hutangnya, memenuhi kebutuhannya dan menyelesaikan kesulitannya.” (Ash-Shahihah: no. 2291)
Selain itu, akan timbul efek positif dari perbuatan tersebut pada sikap istri dan keluarganya kepada suami, di samping kebaikan-kebaikan lainnya yang muncul sebagai pengaruh positif dari perhatian suami kepada keluarga istrinya. Sikap baik suami ini terhadap istri dan keluarganya juga merupakan salah satu bentuk nyata dari ketakwaan kepada Allah dan ketakwaan kepada Allah akan menjadi sebab datangnya kemudahan bagi seluruh urusan kita dan juga kemudahan rezeki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At-Thalaq: 2-3)
Dalam ayat selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. At-Thalaq: 4)
Siapakah yang tidak mengharapkan hal ini? Oleh karena itu, hendaknya suami memberikan perhatian dan kemudahan kepada istri untuk melakukan kebaikan dan baktinya kepada kedua orang tuanya, sehingga mudah-mudahan dengan adanya kerjasama dan saling pengertian tersebut akan terbentuk satu keluarga yang penuh dengan sakinah, mawaddah dan rahmah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemudahan bagi Saudari dalam menyelesaikan segala urusan. Demikian jawaban kami mudah-mudahan bermanfaat.
Sumber: Majalah As-Sunnah, Edisi 06 Tahun XIV 1431 H/2010 M. (Dipublikasikan ulang oleh www.KonsultasiSyariah.com)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

KonsultasiSyariah.com adalah situs rujukan untuk Fatwa dan Tanya Jawab seputar Pendidikan Islam dan Keluarga berbahasa Indonesia. KonsultasiSyariah.com diasuh oleh tim ahli syariah. Silakan lihat halaman "Tentang Kami" untuk info selengkapnya.

Tata Rias Wajah

 
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz yang baik apa batasan tata rias untuk wanita yg akan menikah
bolehkah memakai bulu mata palsu? Bolehkah mencabut/mencukur alis sedikit untuk merapikan riasan? Jazakallah.
Jawaban Ustadz:
Islam menganjurkan wanita untuk berhias, akan tetapi dikhususkan untuk para suami mereka, bukan untuk yang lain. Sedangkan tata cara berhias tersebut harus sesuai dengan tuntunan syar’i, tidak menyerupai wanita , tidak mengubah ciptaan Allah dan tidak menyerupai dengan laki-laki. Adapun memakai bulu mata palsu adalah termasuk tadlis dan termasuk mengubah ciptaan Allah. Sama juga seperti mencabut/mencukur alis untuk merapikan termasuk di dalam larangan hadis mencukur alis mencukur alis secara umum. Wallahu a’lam.
***
Penanya: Ika
Dijawab: Ust. Khairul Wazni, Lc.
(Pengajar Pondok Pesantren Islamic Centre Bin Baz)

About the author

KonsultasiSyariah.com adalah situs rujukan untuk Fatwa dan Tanya Jawab seputar Pendidikan Islam dan Keluarga berbahasa Indonesia. KonsultasiSyariah.com diasuh oleh tim ahli syariah. Silakan lihat halaman "Tentang Kami" untuk info selengkapnya.

Bolehkah sholat jamaah tanpa iqamah?


Assalamu ‘alaykum, Ustadz. Saya mau tanya sebenarnya hukum iqamah sebelum itu bagaimana ya?
Pernah saya (wanita) ingin menunaikan ibadah shalat di suatu restoran, dan saya dapati ada seorang lelaki yang hendak menunaikan shalat juga. Ia mengajak berjamaah dan saya setuju, namun ketika kami sudah membentuk shaf, ia langsung takbiratul ihram tanpa iqamah terlebih dahulu. Sementara, jika berjamaah di rumah, ayah saya selalu iqamah sebelum takbiratul ihram
Saya belum paham mengenai hukum atau dalil terkait tentang iqamah ini. Mohon penjelasannya. Jazakumullah khairan katsiran.
Nisa (futurach**@***.com)

Jawaban sholat jamaah tanpa iqamah :

Wa’alaikumussalam.
Iqamah untuk shalat wajib berjamaah –hukumnya– sunah, bukan syarat sah shalat. Andaikan ada orang yang shalat tanpa iqamah maka shalatnya sah, karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan tata cara shalat kepada orang yang shalatnya salah terus, beliau tidak memerintahkan untuk iqamah terlebih dahulu sebelum shalat. Ini menunjukkan bahwa iqamah untuk shalat bukan syarat, namun hukumnya sunah. Allahu a’lam. (Al-Muntaqa Fatawa Syaikh Dr. Shaleh Al-Fauzan, no. 39)
Sumber: http://www.islamlight.net/index.php?option=com_ftawa&task=view&Itemid=31&catid=275&id=2013
Syekh Dr. Shaleh Al-Fauzan termasuk salah satu ulama senior ahlus sunah saat ini. Beliau merupakan salah satu anggota Lajnah Daimah (Komite Tetap untuk Fatwa dan Penelitian Ilmiah) Arab saudi. Beliau adalah salah satu murid Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Syekh Muhammad Amin Asy-Syinqithi, salah satu penulis tafsir.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Qadha Shalat Tahajud

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ustadz, bagaimana tata cara mengqadha shalat tahajud di waktu dhuha? Bagaimana niatnya dan berapa rakaat? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ita Oechsin (**echsin@***.com)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Bagi orang yang memiliki kebiasaan tahajud, kemudian tidak sempat mengerjakannya karena sebab tertentu, dianjurkan untuk menqadhanya. Waktunya adalah antara subuh sampai menjelang zuhur. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من نام عن حزبه أو عن شيء منه فقرأه فيما بين صلاة الفجر وصلاة الظهر كتب له كأنما قرأه من الليل
Siapa saja yang ketiduran, sehingga tidak melaksanakan kebiasaan shalat malamnya, kemudian dia baca (mengerjakannya) di antara shalat subuh dan shalat zuhur maka dia dicatat seperti orang yang melaksanakan shalat tahajud di malam hari.” (Hr. Muslim, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Penulis kitab Aunul Ma’bud mengatakan, “Hadis ini menunjukkan disyariatkannya melakukan amal saleh di malam hari. Dan menunjukkan disyariatkannya mengqadha amalan tersebut jika tidak sempat melaksanakannya, karena ketiduran atau uzur lainnya. Siapa saja yang melaksanakan qadha amal ini di antara shalat subuh dan shalat zuhur maka dia seperti melaksanakannya di malam hari.” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, 4:139)

Jumlah rakaat shalat tahajud

Jumlah rakaatnya sama dengan jumlah rakaat shalat tahajud ditambah satu (digenapkan). Misalnya, seseorang memiliki kebiasaan tahajud 11 rakaat maka nanti diganti di waktu dhuha sebanyak 12 rakaat. Barang siapa yang memiliki kebiasaan tahajud 3 rakaat maka diganti di waktu dhuha sebanyak 4 rakaat, dan seterusnya. Berdasarkan hadis riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan,
كان رسول الله إذا عمل عملاً اثبته، وكان إذا نام من الليل أو مرض، صلّى من النهار ثنتي عشرة ركعة
Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan satu amalan, beliau melakukan dengan istiqamah, dan apabila beliau ketiduran di malam hari atau karena sakit maka beliau shalat 12 rakaat di siang hari.” (Hr. Muslim dan Ibnu Hibban)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat qadha 12 rakaat karena beliau memiliki kebiasaan shalat malam sebanyak 11 rakaat. Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author


Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Shalat sunah qabliyah jumat

Shalat Sunah Qabliyah Jumat

Sebenarnya ada tidak shalat qabliyah jumat Ada banyak pendapat yang mengatakan, shalat sunah sebelum jumat itu tidak dikerjakan oleh Rasul, yang ada hanya shalat sunah setelah shalat Jumat (ba’diyah). Sebenarnya bagaimana ini?
Zulkifli (Joule_**@yahoo.***)

Jawaban tentang shalat sunah qabliyah jumat:

Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah.
Sebelumnya, perlu dibedakan antara shalat sunah khusus dengan shalat sunah mutlak. Shalat sunah khusus adalah shalat sunah yang dibatasi oleh jumlah rakaat, waktu, atau sebab tertentu. Misalnya, shalat sunah rawatib sebelum zuhur. Adapun shalat sunah mutlak adalah sebaliknya, tidak terikat dengan jumlah rakaat, waktu, atau sebab tertentu.
Pada penjelasan di atas, telah ditegaskan bahwasanya shalat sunah sebelum shalat Jumat sifatnya mutlak. Tidak terikat dengan jumlah rakaat dan waktu tertentu. Ini adalah pendapat Syafi’iyah dan bahkan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana yang disampaikan oleh An-Nawawi. Di samping itu, tidak terdapat satu pun riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunah khusus sebelum shalat Jumat.
Terdapat riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat empat rakaat tanpa dipisah dengan salam sebelum shalat Jumat. Riwayat ini dibawakan oleh Ibnu Majah, namun sanadnya sangat lemah sekali, sehingga tidak bisa dijadikan dalil.
Untuk melengkapi pembahasan, di bawah ini kami sebutkan beberapa alasan orang yang berpendapat adanya shalat sunah qabliyah Jumat, beserta bantahan atas pendapat tersebut:
A. Riwayat bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat dua rakaat sebelum shalat Jumat dan sesudahnya.
Bantahan:
Riwayat di atas dan beberapa riwayat lainnya yang semakna, adalah riwayat yang lemah sekali. Sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Sebagaimana dijelaskan Syekh Abdul Quddus Muhammad Nadzir dalam Ahaditsu Al-Jum’ah, hlm. 315–316.
B. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiasakan shalat empat rakaat tanpa dipisah salam sebelum zuhur. Shalat ini dikenal dengan “shalat zawal”.
Bantahan:
Hadis ini khusus untuk shalat zuhur, dan tidak bisa disamakan dengan shalat Jumat karena dalam hadis secara tegas disebutkan, “… Setelah matahari tergelincir sebelum shalat zuhur.” Padahal, shalat sunah sebelum shalat Jumat boleh dilakukan sebelum matahari tergelincir karena shalat ini dikerjakan sebelum khotbah, sedangkan khotbah Jumat boleh dimulai sebelum tergelincirnya matahari.
Di samping itu, menyamakan shalat Jumat dengan shalat zuhur adalah analogi yang salah karena shalat Jumat itu berdiri sendiri dan tidak ada hubungannya dengan shalat zuhur. (Zadul Ma’ad, 1:411)
C. Hadis Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, yang menjelaskan bahwa beliau melakukan shalat sunah sebelum shalat Jumat dan dua rakaat sesudahnya. Kemudian, Ibnu Umar menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu juga melakukan hal demikian. Penegasan Ibnu Umar ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunah sebelum shalat Jumat.
Bantahan:
Dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari, 3:351), “Ucapan Ibnu Umar, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan hal demikian,’ maksudnya adalah menceritakan tentang shalat dua rakaat sesudah shalat Jumat bukan shalat sunah sebelum shalat Jumat. Berikut ini alasannya:
  • Jika yang dimaksud ‘memperlama shalat sunah sebelum shalat Jumat’ itu dilakukan setelah masuknya waktu jumatan maka ini tidak mungkin dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena setelah masuk waktunya jumatan, beliau langsung masuk masjid dan langsung berkhotbah. Sehingga tidak mungkin melakukan shalat sunah apalagi memperlama bacaannya.
  • Terdapat riwayat lain yang semakna dengan riwayat Ibnu Umar di atas. Yaitu bahwasanya beliau shalat Jumat kemudian langsung pulang dan shalat dua rakaat di rumahnya. Kemudian Ibnu Umar mengatakan, ‘Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini.’”
D. Keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Di antara dua azan, ada shalat sunah.”
Bantahan:
Alasan ini telah dijawab Ibnul Qayyim sebagai berikut, “… Setelah Bilal selesai berazan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhotbah, dan tidak ada satu pun sahabat yang melakukan shalat dua rakaat, dan azan hanya sekali. Ini menunjukkan bahwasanya shalat Jumat itu sebagaimana shalat ‘id, tidak ada shalat sunah sebelumnya. Ini adalah pendapat yang paling kuat di antara dua pendapat ulama (dalam masalah ini), dan demikianlah yang ditunjukkan oleh sunah, karena setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah, beliau naik mimbar dan Bilal langsung mengumandangkan azan shalat Jumat.
Setelah selesai azan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhotbah, tanpa ada jeda waktu. Ini diketahui oleh semua orang. Kalau begitu, bagaimana mungkin sahabat bisa (punya waktu) shalat sunah (sebelum shalat Jumat)? Oleh karena itu, siapa saja yang meyangka bahwa setelah Bilal berazan, para sahabat melakukan shalat sunah, maka dia adalah orang yang paling bodoh terhadap ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang telah kami sebutkan di atas, bahwasanya tidak ada shalat sunah khusus sebelum shalat Jumat adalah pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, dan pendapat paling mayoritas di antara ulama Syafi’iyah.” (Zadul Ma’ad, 1:411)
Ibnu Al-Hajj mengatakan dalam Al-Madkhal, 2:239, “Sesungguhnya, para sahabat adalah orang yang paling tahu dengan keadaan dan paling paham dengan hadis ini (yaitu antara dua azan ada shalat sunah), maka tidak ada yang bisa menenangkan diri kita selain dengan mengikuti amalan yang mereka lakukan.” (Ahadist Al-Jumu’ah, hlm. 317)
E. Mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunah tersebut di rumahnya, setelah matahari tergelincir, baru kemudian keluar rumah dan berkhotbah.
Bantahan:
Dijawab oleh Abu Syamah, dalam Al-Ba’its, “Andaikan itu terjadi, tentu akan disampaikan oleh para istri beliau, sebagaimana mereka menceritakan tentang shalat sunah yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik siang maupun malam, dan tata caranya …. Dengan demikian, jika tidak ada nukilan riwayat dari mereka maka pada asalnya shalat tersebut tidak ada dan menunjukkan bahwa hal itu tidak pernah terjadi, juga shalat tersebut tidak disyariatkan.” (Al-Ba’its ‘ala Inkar Al-Bida’ wa Al-Hawadits, hlm. 97)

Kesimpulan tentang shalat sunah qabliyah jumat:

Tidak ada shalat sunah qabliyah Jumat. Apalagi jika shalat ini dilaksanakan setelah azan. Adapun shalat sunah yang dikerjakan ketika makmum masuk masjid di sambil menunggu imam, maka itu adalah shalat sunah mutlak, sehingga shalat ini bisa dikerjakan tanpa batasan jumlah rakaat. Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Hukum memindahkan makam

memindahkan makam
Apakah hukum memindahkan makam, dan bagaimana jika kita dapat wasiat dari orang tua untuk memindahkan makam nenek?
Abu Ghaitsani (gs_**@***.com)

Jawaban:
Bismillah.

Hukum memindahkan makam

Hukum asal membongkar kuburan atau memindahkannya ke tempat lain adalah terlarang. Sementara, sesuatu yang terlarang bisa menjadi dibolehkan jika ada alasan yang dibenarkan syariat. Dr. Ahmad bin Abdul Karim Najib menjelaskan bahwa ada tiga hal yang bisa dijadikan alasan pembenar untuk mayat.
Pertama, untuk kemaslahatan mayat sendiri.
Misalnya, keluar air di kuburan, tanahnya becek, atau di daerah tersebut banyak binatang buas yang sering membongkar kuburan, atau alasan lainnya. Syekhul islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak boleh mengeluarkan mayat dari kuburannya kecuali karena kebutuhan mendesak, misalnya ada sesuatu yang mengganggu mayat sehingga harus dipindahkan ke tempat lain. Sebagaimana pada sebagian sahabat, jenazahnya dipindahkan karena sebab semacam ini.” (Majmu’ Al-Fatawa, 24:303)
Imam Bukhari, dalam kitab Shahih-nya membuat judul “Bab ‘Bolehkah mengeluarkan mayit dari kuburan dan lahadnya karena sebab tertentu’. Kemudian beliau membawakan hadis dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, yang menyatakan bahwa beliau menceritakan bahwa ayahnya adalah orang yang pertama kali meninggal ketika Perang Uhud. Kemudian ayahnya dimakamkan bersama jenazah yang lain dalam satu liang. Jabir mengatakan, “Jiwaku tidak nyaman untuk meninggalkan beliau dikuburkan bersama yang lain dalam satu makam. Kemudian aku mengeluarkannya, setelah berlalu enam bulan. Ternyata beliau masih sama seperti ketika dimakamkan, selain ada perubahan di telinganya.” (Hr. Bukhari)
Kedua, tanah yang digunakan untuk memakamkan mayat adalah tanah yang bukan haknya, seperti: tanah hasil ghasab (mengambil milik orang lain tanpa hak, ed.) atau dimakamkan di tanah orang lain. Sementara, pemiliknya tidak merelakannya. Dalam kondisi ini, mayat boleh dipindah kuburannya ke tanah yang lain.
Ketiga, memindahkan kuburan untuk kemaslahatan umum.
Seperti: memperluas masjid atau memperluas jalan yang tidak memungkinkan untuk dialihkan ke yang lain, atau kebutuhan umum yang sangat mendesak lainnya.
Disebutkan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu tentang kisah pembangunan Masjid Nabawi; beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membangun masjid. Beliau mengutus seseorang untuk menemui Bani Najjar dan menanyakan berapa harga tanahnya. Masyarakat Bani Najjar mengatakan, ‘Demi Allah, kami tidak menginginkan uang sedikit pun dari tanah tersebut, selain Allah.’” Anas mengatakan, “Di tanah tersebut terdapat kuburan orang musyrik, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membongkar kuburan tersebut ….” (Hr. Bukhari)
Disimpulkan dari: http://www.saaid.net/Doat/Najeeb/f113.htm
Dr. Ahmad bin Abdul Karim Najib termasuk salah satu da’i ahlus sunnah yang banyak bergerak di daerah Yugoslavia. Beliau meraih gelar doktor dalam ilmu hadis dari Universitas Ummu Dirman Al-Islamiyah, Sudan. Sejak tahun 1999, beliau banyak berdakwah di daerah Eropa Timur dan Eropa Barat, terutama Yugoslavia dan sekitarnya.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Pembahasana: Hukum syari’ memindahkan makam.


About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Ketika lupa tasyahud awal

Assalamu ‘alaikum. Saat 4 rakaat, seharusnya kita tasyahud awal, tapi kita lupa dan berdiri, kemudian setelah berdiri sempurna kita ingat bahwa seharusnya duduk tasyahud awal. Apa yang harus kita lakukan?
Annisa (nisco**@yahoo.**)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah.

Orang yang lupa tidak tasyahud awal, memiliki dua keadaan:

Pertama, teringat ketika proses berdiri menuju rakaat ketiga atau sebelum berdiri sempurna. Dalam kondisi semacam ini, dia harus kembali untuk melaksanakan duduk tasyahud awal dan tidak ada kewajiban sujud sahwi.
Kedua, baru teringat setelah berdiri sempurna di rakaat ketiga. Pada keadaan ini, tidak perlu kembali duduk tasyhud, kemudian melakukan sujud sahwi sebelum salam. Dalilnya :
  • Hadis dari Abdullah bin Buhainah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengimami shalat, kemudian beliau langsung bangkit setelah rakaat kedua dan tidak duduk tasyahud. Maka makmum pun ikut berdiri. Setelah selesai tasyahud akhir, para sahabat menunggu beliau salam. Tiba-tiba, beliau sujud dua kali sebelum salam. (Hr. Bukhari dan Muslim)
  • Dari Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian bangkit setelah rakaat kedua dan belum sempurna berdiri maka duduklah (kembali), dan jika sudah berdiri sempurna maka jangan duduk dan lakukanlah sujud sahwi (sebelum salam).” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

About the author

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.

Shalat Terbengkalai Beberapa Hari

Lupa mengerjakan beberapa hari

Sesungguhnya aku adalah seorang pemuda yang–alhamdulillah–telah diberi taufik oleh Allah Ta’ala untuk menjalankan shalat lima waktu, kecuali shalat subuh dalam beberapa waktu. Ketika subuh, aku sering sekali tertidur. Aku baru terbangun setelah terbit matahari. Bolehkah aku mengerjakan shalat subuh tersebut di waktu aku bangun tidur? Lalu bagaimana jika seseorang luput dari suatu shalat, misalnya shalat ashar, apakah ia mengqadha’-nya di hari berikutnya ataukah ia kerjakan di waktu magrib?

Jawaban:
Jika engkau ketiduran atau lupa sehingga luput dari waktu shalat maka hendaklah engkau shalat ketika engkau terbangun dari tidur atau ketika ingat, walaupun itu adalah saat terbit atau tenggelamnya matahari. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
“Barang siapa yang tertidur –sehingga luput dari shalat–atau dalam keadaan lupa, maka hendaklah ia shalat ketika ia ingat dan tidak ada kafarah (tebusan) selain itu.” (Hr. Bukhari dan Muslim )
Adapun jika engkau lima waktu dengan sengaja, dengan mengetahui akan wajibnya lalu engkau luput dari shalat tersebut, maka pendapat ulama yang paling tepat adalah bahwa perbuatan seperti itu termasuk kekufuran, yaitu kufur akbar. Shalat yang ditinggalkan dengan sengaja seperti ini sama sekali tidak memiliki qadha’ (tidak perlu diganti). Kewajibanmu adalah bertobat, beristighfar, menyesali yang telah lalu, dan engkau harus menjaga kembali shalat lima waktu, dikerjakan tepat pada waktunya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, dan lain-lain, dari hadis Buraidah,
العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian di antara kami (kaum muslimin) dengan mereka (orang kafir) adalah mengenai perkara shalat. Barang siapa yang meninggalkannya maka ia kafir.”
Hal ini juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Jabir,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
Pembeda di antara seorang muslim dan antara kekufuran dan kesyirikan adalah mengenai meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)
Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Yang menandatangani fatwa ini:
Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syekh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua dan Syekh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota.
Sumber: Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan pertama dari fatwa nomor 6196, 6/10.
Diterjemahkan oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.KonsultasiSyariah.com



About the author

Beliau adalah Sarjana Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, saat ini beliau sedang menempuh S2 di Jami'ah Malik Su'ud - King Saud University (Riyadh-KSA) mulai September 2010, jurusan Chemical Engineering, konsentrasi Polymer Engineering. Beliau adalah dewan pembina Yayasan Bina Pengusaha Muslim dan Majalah Pengusaha Muslim. Beliau juga aktif menulis dan menerjemahkan artikel-artikel Islam.